Jumat, 08 Juli 2011

PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL MAGICC-SCENGEN (Studi Kasus Temperatur dan Curah Hujan di Propinsi Papua Barat)


PENDAHULUAN
Peningkatan pemanasan global yang terjadi saat ini diakibatkan karena meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Peningkatan GRK ini semakin besar setelah masa revolusi industri. Semakin tinggi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar aktivitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga dan aktivitas-aktivitas lain yang melepaskan GRK. Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan terus meningkat. GRK meliputi gas-gas Karbon Dioksida (CO2), golongan Chloro-Fluorocarbon (CFCs), Methan (CH4), Ozon (O3), dan Nitrogen Oksida (NOx). Gas-gas tersebut berada di atmosfer berfungsi sebagaimana kaca, yaitu melewatkan radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi dari bumi agar tidak lepas ke angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi jika jumlah radiasi bumi yang terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan permukaan bumi akan semakin panas (suhu meningkat).
Kenaikan suhu udara permukaan global rata-rata sekitar 0,6 °C ± 0.2 °C selama akhir abad kedua puluh telah mempengaruhi siklus hidrologi global (TAR IPCC, 2000; Glen, 2004 dalam Nurmohamed, 2007). Menurut model iklim, suhu permukaan global akan meningkat sekitar 1,5-3.5 oC pada akhir 2100. Peningkatan suhu sederhana akan meningkatkan penguapan dan memungkinkan suasana untuk mengangkut jumlah yang lebih besar uap air. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa hujan dan limpasan akan dipercepat. Perubahan jangka panjang dari curah hujan sudah tentu akan mempengaruhi sumber daya air dan sehingga sektor sosial-ekonomi akan sangat terpengaruh.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Ini ditunjukkan pada kejadian kurun waktu 1997-1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan kerusakan terumbu karang yang cukup parah akibat berubahnya karakteristik El Nino akibat pemanasan global.
Memahami perubahan iklim global di masa yang akan datang serta dampak yang dapat ditimbulkannya, khususnya perubahan pada iklim Indonesia sebagai salah satu parameter perubahan kondisi lingkungan, merupakan bagian dari strategi antisipasi (adaptasi dan mitigasi) dampak perubahan iklim global secara dini yang penting dilakukan dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Tulisan ini menjelaskan tentang perubahan iklim global yang akan di bahas dalam bagian kedua tulisan ini. Selanjutnya akan dikaji perubahan dan proyeksi perubahan iklim Indonesia dengan menggunakan model MAGICC-SCENGEN versi 5.3.
TUJUAN PENULISAN
            Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perubahan iklim (temperatur udara dan curah hujan) Indonesia, dengan mengambil kasus di Propinsi Papua Barat (Latitude: 2,5oS-0oS dan Longitude: 132,5oE-135,0oE).
MODEL IKLIM GLOBAL
Pada tahun 1992, IPCC merilis enam skenario emisi yang menyediakan alternatif emisi untuk rentang tahun 1990 sampai 2100 yang berhubungan dengan GRK, yakni CO2, CO, CH4, N2O, NOx, dan SO2. Skenario ini dimaksudkan untuk digunakan oleh para ilmuwan iklim dan atmosfer dalam penyusunan skenario komposisi atmosfer dan perubahan iklim.
IPCC telah menerbitkan satu set baru skenario pada tahun 2000 untuk digunakan dalam Third Assessment Report/TAR (Laporan Khusus tentang Skenario Emisi-SRES). Skenario SRES dibangun untuk mengeksplorasi perkembangan masa depan di lingkungan global dengan referensi khusus pada produksi emisi gas rumah kaca dan aerosol prekursor. Tim SRES mendefinisikan empat skenario (Gambar 1), yang diberi label B2, A1, A2, B1(Nakicenovic et al, 2000). Skenario SRES berdasarkan storyline IPCC 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.
 Gambar 1. Ilustrasi Empat Skenario SRES
Tabel 1. Skenario SRES berdasarkan storyline IPCC 2000
AR4
Lebih difokuskan pada sektor ekonomi
Lebih difokuskan pada sektor lingkungan
Globalisasi (dunia yang homogen
A1
B1
-  Pertumbuhan ekonomi yang cepat (grup : A1/A1B/A1F1), 
-  kenaikan temperatur tahun 2100 antara      1.4 – 6.4oC
-  Penanganan lingkungan global yang berkelanjutan,
-  kenaikan temperatur tahun 2100 antara     1.1 – 2.9 oC
Regionalisasi (dunia yang heterogen)
A2
B2
-    pembangunan ekonomi yang berorientasi regional,
-    kenaikan temperatur tahun 2100 antara      2.0 – 5.4oC
-    penanganan lingkungan lokal yang berelanjutan,
-    kenaikan temperatur tahun 2100 antara      1.4 – 3.8 oC

Laporan penilaian IPCC keempat (AR4), total 25 model sirkulasi atmosfer umum AOGCM digunakan untuk proyek pemanasan global dan kenaikan permukaan laut rata-rata daerah pada akhir 2100. Diharapkan tetap pada kisaran 1,1°C hingga 6,4°C peningkatan suhu global dan proyeksi peningkatan ketinggian permukaan laut global diperkirakan pada kisaran 0,02 m-0,18 m untuk skenario emisi yang berbeda. Ini juga telah diproyeksikan untuk Asia Selatan kering curah hujan musiman selama musim dingin diturunkan dari 16%, diikuti dengan peningkatan curah hujan pra-monsun dan Monsun 31% dan 26% untuk skenario A1FI (IPCC, 2007).
Salah satu sarana untuk mengadopsi proyeksi iklim di masa depan adalah melalui model AOGCM (Atmosphre- Ocean Global Circulation Models). Model numerik ini memiliki beberapa kemampuan diantaranya mampu menampilkan sebuah sistem iklim dalam bentuk 3 Dimensi, mampu menjelaskan berbagai proses fisis dan dinamis, serta berbagai macam proses interaksi dan timbal-baliknya. Model-model AOGCM juga memiliki kemampuan di dalam memperkirakan kondisi iklim regional dalam merespon terhadap perubahan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan aerosol (Kurniawan dkk, 2009).
Tulisan ini akan melakukan simulasi dengan menggunakan model MAGICC-SCENGEN (Model sirkulasi global UKHADCM3 dan UKHADGEM) dengan skenario A1-BAIM dan B2-MES. A1-BAIM mewakili skenario emisi GRK tinggi (pertumbuhan ekonomi tinggi) dan B2-MES mewakili skenario emisi GRK rendah (pertumbuhan populasi dan ekonomi sedang).
PERUBAHAN IKLIM
            Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya aktifitas manusia yang dimulai sejak revolusi industri. Dimana CO2 dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas, selain itu CO2 juga dihasilkan dari kegiatan penebangan hutan (deforestasi). Menurut Susandi (2010), data historis konsentrasi CO2 meningkat dari tahun ketahun dan peningkatan secara drastis dimulai sejak di mulainya revolusi industri pada sekitar tahun 1900. Peningkatan konsentrasi CO2 diatmosfer ini akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat meyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan, sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan.
Perubahan iklim global ini akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya aktifitas manusia yang akhirnya mengemisikan karbon, sehingga akan terjadi kanaikan temperatur global. Berdasarkan simulasi model Magicc didapatkan bahwa temperatur global akan meningkat dari 2,5oC (B2-MES) hingga mencapai 3oC (A1-BAIM) pada tahun 2100 (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil Simulasi Model Magicc SRES A1B-AIM dan B2-MES
Perubahan temperatur global sangat mungkin memberikan pengaruh pada pola presipitasi dan evapotranspirasi pada pulau-pulau di wilayah tropis, yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya air (Watts, 1997).
PROYEKSI TEMPERATUR DAN CURAH HUJAN
Proyeksi temperatur dan curah hujan pada titik geografis: Latitude 2,5oS-0oS dan longitude 132,5oE-135,0oE dan menggunakan model MAGICC/SCENGEN berdasarkan skenario IPCC (skenario A1 dan B2) menunjukkan kenaikan dari waktu ke waktu. Dimana secara spasial pada Gambar 3 dan 4 diperlihatkan proyeksi temperatur Indonesia (Papua Barat) pada tahun 2100. Terlihat bahwa perubahan temperatur maksium terjadi sebesar 2,12oC (skenario A1BAIM) yang tersebar di wilayah sumatera dan kalimantan. Sedangkan untuk skenario B2MES terjadi perubahan temperatur maksimum sebesar 1,88oC. Kedua skenario ini ternyata masih dibawah proyeksi global yang mencapai 2,96oC untuk A1BAIM dan 2,6oC untuk B2MES.
Kurniawan dkk (2009), proyeksi dari perubahan iklim masa depan terhadap temperatur udara permukaan dan curah hujan khususnya di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang–Sumatera Barat dengan menggunakan model AOGCM CCSR/NIES menunjukkan bahwa hingga tahun 2080, intensitas curah hujan akan mengalami peningkatan hingga 20% dibandingkan nilai rata-ratanya. Namun yang menarik disini, pada periode SON dua skenario yakni SRES A2 dan B2 sepakat bahwa adanya penurunan intensitas curah hujan hingga mencapai 15%. Penurunan ini belum diketahui penyebabnya, namun kondisi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam melihat proyeksi perubahan iklim di masa depan. Sedangkan hasil simulasi peningkatan curah hujan mencapai 25,4 hingga 26,2% pada periode MAM.
 Gambar 3.  Hasil Simulasi Temperatur Rerata Indonesia (Papua Barat) 2000-2100 (skenario A1BAIM)
Gambar 3.  Hasil Simulasi Temperatur Rerata Indonesia (Papua Barat) 2000-2100 (skenario B2MES)
Selanjutnya jika kita lihat dari perubahan temperatur setiap 10 tahun dalam periode 2000 hingga 2100, maka skenario A1BAIM memiliki persamaan regresi Y = 0,217X – 0,1656, yang artinya kenaikan temperatur akan terjadi sebesar 0,217 kalinya terhadap waktu yang dikurangi dengan 0,1656. Sedangkan skenario B2MES memberikan persamaan regresi Y = 0,1767X – 0,0731. Ini berarti skenario B2MES memberikan kenaikan temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan skenario A1BAIM.
 Gambar 5. Grafik Kenaikan Temperatur Rerata Setiap 10 tahun (Papua Barat)
Proyeksi curah hujan per tiga bulan (Desember-Januari-Februari/DJF, Maret-April-Mei/MAM, Juni-Juli-Agustus/JJA, September-Oktober-November/SON) diperoleh bahwa terjadi peningkatan curah hujan (%) dari waktu ke waktu.
Skenario A1BAIM diperoleh bahwa pola curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada MAM (untuk tahun 2000, 2050 dan 2100), sedangkan pada tahun 2010 curah hujan tertinggi terjadi pada DJF (Gambar 6). Sedangkan skenario B2MES diperoleh bahwa pola curah hujan sangat bervariasi, dimana untuk tahun 2010 dan 2050 curah hujan tertinggi terjadi pada DJF, namun untuk tahun 2000 dan 2100 terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada MAM (Gambar 7).
  Gambar 6. Pola Curah Hujan (%) 2000-2100 Skenario A1BAIM
 Gambar 7. Pola Curah Hujan (%) 2000-2100 Skenario B2MES
            Apabila dilihat dari curah hujan bulanan terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari, Maret dan April, baik untuk skenario A1BAIM dan B2MES. Namun pada tahun 2100 terjadi pola penurunan curah hujan (anomali) yang terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8 dan 9). Sedangkan Pola curah hujan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11).
 Gambar 8. Curah Hujan Bulanan dalam mm/hari Skenario A1BAIM
Gambar 9. Curah Hujan Bulanan dalam mm/hari Skenario B2MES
 Gambar 10. Curah Hujan Spasial Indonesia (termasuk Papua Barat) periode 2000-2100 untuk Skenario A1BAIM
Gambar 11. Curah Hujan Spasial Indonesia (termasuk Papua Barat) periode 2000-2100 untuk Skenario B2MES.
 PENUTUP
            Paper ini telah memberikan gambaran tentang terjadinya perubahan iklim global yang akan terjadi dimasa mendatang (khususnya prediksi pada tahun 2100) serta proyeksi perubahan iklim Indonesia dengan studi kasus Provinsi Papua Barat untuk temperatur dan curah hujan tahunan.
Proyeksi perubaban iklim untuk parameter temperatur dan curah hujan telah di simulasikan dengan model MAGICC/SCENGEN untuk proyeksi tahun 2000 sampai 2100. Skenario IPCC yang dipilih adalah skenario B2 yang mewakili kondisi peningkatan populasi dan pertumbuhan ekonomi yang sedang atau sebagai skenario dasar. Sedangkan skenario A1 dipilih sebagai skenario yang mewakili kondisi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang mencerminkan tingginya pengggunaan bahan bakar fosil.

DAFTAR PUSTAKA
IPCC. 2000. Emissions Scenarios. A Special Report of Working Group III of The IPCC. Cambridge University Press. Cambridge, U.K.
Kurniawan, E., Herizal, dan Budi Setiawan. 2009. Proyeksi Perubahan Iklim Berdasarkan Skenario Ipcc Sres Dengan Menggunakan Model AOGCM CCSR/NIES (Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang-Sumatera Barat). Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Vol. 5 No. 2 Juni 2009.
Nakicenovic, N. et al (2000). Special Report on Emissions Scenarios: A Special Report of Working Group III of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press, Cambridge, U.K., 599 pp. Available online at:http://www.grida.no/climate/ipcc/emission/index.htm
Nurmohamed, S. R., Naipal, F dan De Smedt. 2007. Modeling hydrological response of the Upper Suriname river basin to climate change. Journal of Spatial Hydrology, Vol.7, No.1, Spring, Belgium.
Susandi, A. 2010. Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia. armi@geoph.itb.ac.id.
Susandi, A. 2006.  Projection of Climate Change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN Model. armi@geoph.itb.ac.id.
Wigley, T.M.L., Raper, S.C.B., Hulme, M. dan Smith, S. 2008. The MAGICC/SCENGEN Climate Scenario Generator: Version 5.3, Technical Manual. Climatic Research Unit. Norwich, U.K.
Watts, D. 1997. Human Dimensions of Global Change Impacts on Water Resources in Tropical Islands. The Globe Issue 40, Desember 1997, 13-14.

Rabu, 06 Juli 2011

Penghilangan dan Penstabilan Limbah Budidaya Perikanan Menggunakan Kemampuan Fitoremediasi Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides, L)


Pendahuluan
            Tantangan Indonesia diabad ini antara lain adalah pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan produk pertanian-pangan, dan bertambahnya dampak ekosistem/lingkungan. Permintaan bahan pangan (produk pertanian-pangan) ini akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk itu sendiri, sehingga jika akumulasinya tak diimbangi dengan ketersediaan pangan, maka akan muncul ancaman rawan pangan.
Mengingat perkembangan jumlah penduduk yang terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga permintaan akan bahan pangan hewani berprotein juga meningkat maka sangat beralasan kalau saat ini berkembang isu tentang konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan dan pengembangan manajemen pertanian-pangan secara lebih komprehensif. Konsep ini terkait dengan program kebijakan kependudukan khususnya pada proses pengendalian pertumbuhan, dan jaminan ketersediaan alam bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia, termasuk juga pembangunan pertanian-pangan untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan (Handayani dan Nurdiana, 2003).
Pembangunan pertanian-pangan secara berkelanjutan yang seiring dengan laju pertambahan penduduk, salah satunya adalah sektor perikanan. Sektor perikanan ini masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai penyedia pangan khususnya pangan berprotein.
Potensi produksi perikanan Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut hingga saat ini baru dimanfaatkan sebesar ± 8 juta ton. Potensi tersebut sebagian besar berada di perikanan budidaya yang mencapai 57,7 juta ton per tahun dan potensi perikanan tangkap (laut dan perairan umum) hanya sebesar 7,3 juta ton per tahun (DKP, 2007).
Melihat data diatas, pemanfaatan potensi perikanan kita masih terbuka lebar dan tingkat pemanfaatannya masih minim, khususnya pada sektor budidaya perikanan yang baru dimanfaatkan sebesar 3.088.800 ton atau sekitar 5,35 % saja. Sedangkan untuk sektor penangkapan pemanfaatan sudah mencapai 4.940.000 ton atau sekitar 67,67% dan beberapa daerah dilaporkan sudah over fishing. Sehingga Budidaya ikan di Indonesia diperkirakan akan tetap mengalami peningkatan yang signifikan di tahun-tahun yang akan datang sesuai dengan peningkatan permintaan akan bahan pangan hewani berprotein sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pangan. 
Meningkatnya usaha budidaya ikan ini sudah tentu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup. Dampak positif yang diberikan dapat berupa ketersediaan bahan pangan berprotein dan terbukanya lapangan pekerjaan. Sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran perairan akibat limbah organik yang berasal dari limbah lumpur (sludge) dari feces dan sisa pakan (Aquaculture effluents) maupun penggunaan pestisida khususnya herbisida dan insektisida dalam proses persiapan kolam/tambak.
Permasalahan
            Mengingat perkembangan jumlah penduduk yang terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga permintaan akan bahan pangan hewani berprotein juga meningkat maka usaha budidaya ikan sebagai salah satu upaya untuk menghasilkan bahan pangan berprotein berpotensi untuk terus dikembangkan sejalan dengan meningkatnya permintaan tersebut.
            Meningkatnya usaha budidaya ikan ini sudah tentu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup. Dampak positif yang diberikan dapat berupa ketersediaan bahan pangan berprotein dan terbukanya lapangan pekerjaan. Seperti disampaikan Anonim (2001) dalam Boyd, C.E. (2003), budidaya ikan memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan pangan global, yakni menyediakan sekitar 30% dari produksi perikanan. Sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran perairan khususnya akibat limbah organik yang berasal dari limbah lumpur/sedimen (sludge) dari feces dan sisa pakan (Aquaculture effluents), baik berupa deplesi oksigen dan eutrofikasi serta blooming alga.
            Keadaan ini diperkuat oleh pendapat Kioussis, D. R. (2000), Perairan alami dapat terkontaminasi, dan kualitasnya menurun, oleh keluarnya polutan anion hara seperti nitrat, nitrit dan fosfat. Tingginya NO3, NO2, dan PO4 adalah 3 konsentrasi yang biasanya ditemukan dalam pembuangan limbah air dari sirkulasi sistem produksi perikanan budidaya.
            Hal ini dipertegas pendapat Ng dkk (1993); Stickney (1994);. Sauthier et al. (1998) dalam Islam, Md. Sh. (2005), pada tingkat yang cukup tinggi dari konsentrasi anion nutrisi dapat menjadi racun untuk ikan atau menyebabkan blooming fitoplankton dan pertumbuhan yang cepat dari ganggang berfilamen atau macrophytes yang tidak diinginkan. Stickney, 1994 dalam Islam, Md. Sh. (2005), Blooming Alga (pertumbuhan tanaman air yang cepat), menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah (deplesi DO) dalam air dan dapat menyebabkan kematian ikan. Tingginya kadar nutrisi anion pada badan perairan penerima menyebabkan eutrofikasi. Islam, Md. Sh. (2005), Produktivitas adalah aspek yang paling mencolok akibat dari eutrofikasi yang merupakan akselerasi/dipercepat oleh adanya limpasan dari pembuangan limbah akuakultur yang kaya nutrisi.
            Selanjutnya Sanz-Lazaro, C. et al. (2011), Budidaya Ikan terlihat mempengaruhi kualitas air, tidak hanya parameter fisik, kimia dan biologi tetapi juga fungsi ekosistem dari sudut pandang trofik, khususnya yang mempengaruhi rantai makanan dan keseimbangan antara kelompok trofik. Dinamika particulate organic carbon (POC), particulate organic nitrogen (PON) and total phosphorus (TP) mencerminkan keadaan fisiko-kimia sedimen yang berdampak terhadap kelompok bentik (benthos).
            Hasil pengamatan ternyata perilaku pelaku budidaya ikan-udang di Indonesia, seringkali menggunakan pestisida (herbisida dan insektisida) dalam memberantas berbagai tumbuhan air yang maupun serangga yang keberadaannya sangat tidak diinginkan di kolam/tambak budidaya. Connel, D.W. dan Gregory J.M. (2006), ternyata pestisida memberikan pengaruh kepada semua kelompok taksonomi biota dan tidak hanya makhluk sasaran, melainkan hampir semua makhluk hidup yang terpapar.
Kondisi ini sudah tentu perlu diupayakan suatu sistem perekayasaan mitigasi lingkungan, sehingga mampu mengurangi bahkan jika memungkinkan dapat menghilangkan pencemar-pencemar tersebut, baik yang berasal dari limbah organik yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut maupun limbah pestisida yang digunakan pada awal pemeliharaan ikan (penyaiapan kolam/tambak). Upaya ini dapat dilakukan salah satunya adalah dengan metode fitoremediasi dengan memanfaatkan rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) sebagai upaya menghilangkan dan menstabilkan pencemar tersebut.
Tujuan
Melihat kemampuan rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) dalam menghilangkan dan menstabilkan pencemar yang berasal dari limbah perikanan (Aquaculture effluents), baik limbah organik maupun limbah pestisida yang berasal dari proses persiapan kolam/tambak untuk budidaya ikan.
Dampak Budidaya Ikan Pada Perairan
Potensi lahan untuk pembudidayan di pantai (tambak) sebesar 913.000 ha (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002). Jenis-jenis komoditas budidaya di tambak masih didominasi oleh udang windu, sedangkan jenis lain adalah udang lain (non windu) dan bandeng. Perkembangan luas areal pembudidayaan di pantai (tarnbak) selama enam tahun (1994-2000) mengalami peningkatan rata-rata 4,12%o yaitu dari 326.908 ha pada tahun 1994 menjadi 411.230 ha pada tahun 2000, sedangkan produksinya mengalami peningkatan sebesar 4,06% pertahun yaitu 346,21 ribu ton pada tahun 1994 menjadi 430,45 ton pada tahun 2000.
Peningkatan perkembangan luasan lahan ini sudah tentu berdampak pada peningkatan populasi ikan/udang yang dibudidayakan, kebutuhan pakan dan sudah tentu juga menyebabkan peningkatan limbah budidaya ikan (aquaculture effluent). Disamping itu limbah budidaya ikan sangat tergantung pada tingkat intensitas sistem budidaya yang diterapkan, luasan lahan budidaya dan juga tingkat konversi pakan (KP) dari budidaya ikan tersebut atau tingkat efisiensi pemberian pakannya. Semakin besar tingkat KP maka akan semakin banyak limbah yang akan dihasilkan, sehingga semakin besar pula beban pencemaran yang akan ditimbulkan. Begitu pula dengan tingkat efisiensi, semakin kecil tingkat efisiensinya maka akan semakin banyak sisa pakan yang akan dihasilkan.
Peningkatan kegiatan budidaya ikan ini juga harus dibarengi dengan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung keberlanjutan usaha tersebut. Kualitas air yang buruk akan menghasilkan pendapatan yang rendah, produksi ikan yang rendah, kualitas produk yang rendah, dan memiliki potensi resiko pencemaran perairan.
            Grepin (2010), Penurunan kualitas air ini dapat disebabkan oleh kegiatan lain yang berasal dari limbah industri, domestik, pertanian dan lain-lain serta dari kegiatan budidaya ikan itu sendiri (kotoran ikan/feces dan sisa pakan).
Penurunan kualitas air dari limbah organik akibat kegiatan budidaya ikan itu sendiri umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang berasal dari metabolisme ikan (feces) dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya. Keberadaan feces sangat tergantung pada tingkat efektifitas konversi pakan dari ikan yang dibudidayakan, dimana konversi pakan (KP) ideal secara teoritik adalah 1 kg pakan yang diberikan akan menghasilkan 1 kg daging (faktor KP = 1). Namun kenyataan dilapangan KP  pada kegiatan budidaya lebih dari 1. Dimana semakin besar nilai konversi pakan maka akan semakin besar pula limbah (feces) yang akan dihasilkan. Sedangkan sisa pakan yang dihasilkan sangat tergantung pada tingkat efisiensi pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin banyak sisa pakan yang dihasilkan.
               Dampak lingkungan yang merugikan dari budidaya ikan sudah sejak lama menjadi perhatian utama di banyak negara. Diperkirakan bahwa 75% sampai 85% C, 40% sampai 80% dari N dan 65% sampai 73% dari masukan P ke dalam system lingkungan perairan laut, berkontribusi terhadap pencemaran air dan sedimen (Wu 1995 dalam Chu, 1996).
Dampak utama dari kegiatan budidaya ikan sangat tergantung pada sistem budidaya yang diterapkan (high-input high-output intensive systems). Semakin intensif usaha budidayanya (semakin tinggi input) maka dampak yang akan ditimbulkan juga akan semakin besar. Disamping itu juga karena semakin meningkatnya kegiatan usaha budidaya ikan akibat laju pertambahan penduduk.
            Efek kegiatan ini adalah lepasnya partikulat sedimen tersuspensi (suspended solids) dalam bentuk sludge, nutrient dan bahan  organik yang dapat memperkaya perairan penerima dan merubah komunitas benthos (perubahan flora dan fauna dasar perairan) serta terjadinya eutrofikasi.
Summerfelt dkk (1999), Sistem budidaya perikanan kerapkali menghasilkan limbah berupa lumpur (sludge) yang berasal dari kotoran (feces) dan sisa pakan yang belum terolah dan langsung masuk ke dalam perairan terbuka penerima (upon receiving waters). Limbah cair/lumpur dari kolam/tambak ini dapat membahayakan lingkungan perairan penerima karena kandungan bahan organiknya yang tinggi seperti padatan terlarut (sedimen organik) dan nutrien (terutama sekali nitrogen dan phosphorous).  
               Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen,nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989 dalam Garno, 2004).
               Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap di dasar tambak/kolam, sedangkan bentuk lainnya akan berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob.
               Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, benthos dan lainnya maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen), mikroba anaerobik (mikroba yang hidupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik).
Keberadaan sedimen ini di perairan akan mempercepat terjadinya proses pendangkalan dan peningkatan pencemaran perairan karena kandungan bahan organik yang nantinya akan mengalami proses dekomposisi baik secara aerobik maupun anaerobik yang akhirnya menyebabkan deplesi oksigen. Sedangkan nutrien itu sendiri keberadaan di perairan akan mempercepat pengkayaan perairan sehingga dapat memacu terjadinya eutrofikasi. 
1.    Dekomposisi Limbah Organik
a.        Dekomposisi di Badan Air Aerob
               Garno (2004), limbah organik yang ada di badan air aerob akan dimanfaatkan dan diurai oleh mikroba aerobik (BAR); dengan proses seperti pada reaksi (1) dan (2):
               Kedua reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisyaratkan bahwa makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen, namun metabolitnya biasanya bersifat racun.
b.        Dekomposisi di Badan Air Anaerob
               Garno (2004), limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada reaksi (3) dan (4):
               Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan.
               Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi (5).
2.    Dampak Dekomposisi Limbah Organik
               Uraian diatas mengungkapkan bahwa proses dekomposisi limbah organik di badan air bagian manapun cenderung selalu merugikan karena sebagian besar produknya (NH3, H2S dan CH4) dapat langsung mengganggu kehidupan fauna, sedang produk yang lain (nutrien) meskipun sampai pada konsentrasi tertentu menguntungkan namun jika limbah/nutrien terus bertambah (eutrofikasi) akan menjadi pencemar yang menurunkan kualitas perairan dan akhirnya mengganggu kehidupan fauna.
a.        Deplesi Oksigen
               Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Secara umum diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya. Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya.
               Fenomena seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa akhir-akhir ini di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang padat penduduk dan tinggi pemasukan limbah organiknya tidak mudah lagi ditemukan bibit-bibit udang dan bandeng (nener), padahal pada masa lalu masih dengan mudahnya ditemukan.
               Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob (Polprasert, 1989 dalam Garno, 2004). Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke permukaan hingga terhindar dari kematian. Namun demikian untuk perairan yang tertutup seperti di teluk hal ini mungkin terjadi.
               Badan air yang anaerob, proses dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S, CH4 dan NH3N yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen terlarut, senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan dapat membunuh fauna air yang ada.
               Selain menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan senyawa beracun yang selalu merugikan dan dapat menyebabkan kematian fauna; dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi perairan yang cocok bagi kehidupan mikroba pathogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa (Polprasert, 1989 dalam Garno, 2004), yang setelah berkembang-biak, setiap saat dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan bagi ikan, udang dan fauna lainnya.
b.        Eutrofikasi
               Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, limbah organik menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup mikroba pathogen. Dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan.
               Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980). Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan (Garno, 1995) karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no. 5) untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat (Garno, 2004).
               Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno, 2004). Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan; maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
               Sangat disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak positif seperti itu hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif bagi kualitas badan air penerima (Anonim,2001). Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik (Henderson, 1987). Proses peningkatan kesuburan air yang berlebihan yang disebabkan oleh masuknya nutrien dalam badan air, terutama fosfat inilah yang disebut eutrofikasi (Anonim, 2001).
               Sesungguhnya eutrofikasi adalah sebuah proses alamiah yang terjadi dengan perlahan-lahan dan memakan waktu berabad-abad bahkan ribuan tahun, di mana badan air yang relatif tergenang seperti danau dan pantai tertutup mengalami perubahan produktifitas secara bertahap.
Proses penurunan mutu perairan akibat eutrofikasi ini lebih karena masuknya atau dimasukkannya nutrien secara berlebihan ke dalam perairan akibat pergantian air kolam/tambak. Akibatnya pertumbuhan tumbuhan air, ganggang, dan phytoplankton tumbuh pesat hingga blooming yang selanjutnya akan mengalami kematian secara massal dan membusuk (dekomposisi) yang akhirnya akan menghabiskan oksigen terlarut (deplesi oksigen). Sedangkan Emerson, Craig (1999), Peningkatan limbah budidaya ikan (aquaculture effluent) juga akan meningkatkan jumlah nutrien di atas batas normal, sehingga kenaikan ini memacu blooming alga diperairan.
Nybakken (1992), kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akan meningkatkan kadar NH3 perairan dan penurunan pH (asam). Ini menunjukkan kondisi perairan yang tidak stabil dan dapat menimbulkan kematian bagi organisme air.
Bahan pencemar ini sudah tentu dapat mencemari perairan terbuka penerima dan juga akan mencemari kembali pada kolam/tambak yang digunakan untuk budidaya ikan (khususnya pada wilayah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut). Pola pasang surut ini akan mengembalikan air yang masih mengandung bahan pencemar tersebut kembali ke dalam kolam/tambak karena pergerakan air/arus ke arah daratan akibat kondisi pasang (backwash), sehingga kondisi ini akan memperparah penurunan kualitas air dalam kolam/tambak.
               Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP/l dan nitrogen > 0,300 mgN/l dalam badan air akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan pesat (Henderson dan Markland, 1987), sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno,1992).
               Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda (Henderson dan Markland 1987; Margalef, 1958). Selain itu setiap jenis fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya (Hutchinson, 1944; Margalef., 1958 Reynolds, 1989).
Dampak Pestisida
            Connel, D.W. dan Gregory J. M. (2006), Dampak lingkungan penggunaan pestisida berkaitan dengan sifat mendasar yang penting terhadap efektifitas sebagai pestisida, yakni (1) pestisida cukup beracun untuk mempengaruhi semua taksonomi biota (termasuk biota bukan  sasaran), (2) kebanyakan pestisida tahan terhadap degradasi lingkungan, sehingga dapat bertahan dalam lingkungan (sifat ini menyebabkan pengaruh jangka panjangdalam ekosistem laamiah).
            Selanutnya dijelaskan, bahwa pestisida mencakup serangkaian luas senyawa-senyawa alamiah dan sintetis. Menurut fungsinya pestisida dibedakan menjadi insektisida (senyawa hidrokarbon terklorinasi/organoklor dan organofosfor yang ditujukan untuk membunuh insekta), herbisida (tanaman), dan fungisida (jamur).
            Herbisida adalah yang sering digunakan oleh pelaku budidaya dalam persiapan kolam/tambak. Penggunaan herbisida biasanya digunakan untuk membasmi tumbuhan air/gangggang yang keberadaan tidak diinginkan dalam kegiatan budidaya ikan maupun udang. Setelah penggunaan herbisida baru dilanutkan dengan pemupukan untuk menumbuhkan paka alami. Herbisida yang sering digunakan salah satunya adalah diuron.
            Anonim (2006), diuron adalah herbisida spektrum yang luas digunakan untuk gulma, dan rumput. Diuron ini akan menghentikan fotosintesis, yang pada gilirannya menyebabkan tanaman berhenti tumbuh. Hal ini juga menghambat perkecambahan biji. Diuron adalah satu-satunya bahan aktif dalam produk herbisida Karmex DF (80%), Diuron DF (80%), Diuron 4L dan 4L Direx (40%). Produk Krovar merupakan kombinasi dari herbisida diuron dan bromacil.
            Cox, C. (2003), Diuron, biasanya dijual di bawah nama merek Karmex, Direx, dan Diuron, secara luas digunakan untuk mengontrol vegetasi sepanjang jalan. Kegunaan penting lainnya termasuk pengendalian gulma di kebun jeruk dan bidang alfalfa.
           
            US Environmental Protection Agency (EPA) mengklasifikasikan Karmex DF, Direx 80DF, 4L dan Direx sebagai daya racun kategori III (toksisitas rendah). EPA menggolongkan sebagai bahan beracun Krovar kategori II (toksisitas moderat) dengan kata lain diberikan sinyal peringatan karena dapat menyebabkan iritasi mata dan dapat menyebabkan reaksi jika menyentuh kulit. Selanjutnya Cox, C (2003), menjelaskan bahwa paparan diuron menyebabkan pembentukan methemoglobin, bentuk abnormal membawa oksigen molekul dalam darah, hemoglobin. Herbisida diuron Banyak juga mengiritasi mata. The US Environmental Protection Agency mengklasifikasikan diuron sebagai karsinogen "dikenal/mungkin" karena menyebabkan kanker kandung kemih, kanker ginjal, dan kanker payudara pada penelitian dengan hewan laboratorium.
Dampak Pestisida pada Ikan
            Livingstone (1977) dalam Connel, D.W. dan Gregory J. M. (2006), pengambilan (penjerapan) oleh hewan dapat terjadi secara langsung dari lingkungan fisik atau penyerapan gastrointestinal. Khusus untuk hewan perairan, dapat melalui beberapa cara : (1) penelanan makanan yang teracuni pestisida, (2) pengambilan dari air yang melewati membran insang, (3) difusi kutikular, dan (4) penyerapan langsung dalam sedimen.
            Bony, S. (2008), pada ikan yang terpapar pestisida secara kronis dengan konsentrasi 1-2 g/l untuk diuron dan 0.5-1 g/l untuk axoxystrobin terjadi 3-5 kali lipat kerusakan DNA.  Selanjutnya dijelaskan, bahwa setelah periode pemulihan 1 bulan (tidak terpapar) hal ini tidak meningkatkan genotoxicity tersebut, kerusakan DNA dalam eritrosit ikan pulih ke tingkat yang tidak terkena. Ini menunjukkan kemungkinan keterlibatan dari kedua mekanisme perbaikan dan pergantian sel dalam menanggapi xenobiotic (bahan kimia yang ditemukan pada sebuah organisme, tapi itu biasanya tidak diproduksi atau diharapkan untuk hadir dalam tubuh organisme).
            Perschbacher, P. W. and Gerald M. L. (2004), diuron menyebabkan produksi fitoplankton primer dan biomassa fitoplankton selama lebih dari 4 minggu. Ini akan menyebabkan turunnya tingkat oksigen yang larut dan menyebabkan stres yang berpotensi mematikan (DO < dari 3 mg/l) setelah 1 minggu pemaparan. Pengurangan biomassa alga dan produktivitasnya menghasilkan tingkat pH yang berkurang dan lebih menguntungkan keberadaan amonia.           
Karakteristik Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides, L)
Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) adalah tumbuhan yang berasal dari India dan secara tradisional telah digunakan untuk perlindungan kontur (lereng) (gambar 1).  Rumput vetiver sebelumnya dikenal dengan nama latin vetiveria zizanioides yang kemudian reklasifikasi ulang menjadi Chrysopogon zizanioides, L. Sistem vetiver ini membutuhkan biaya yang murah dan terbukti sangat efektif yang menawarkan solusi lingkungan. Di Indonesia rumput vetiver lebih dikenal dengan nama "akar wangi" yang biasanya dimanfaatkan minyak atsiri dari akarnya.
 Gambar 1. Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L)
 Gambar 2. Panjang Akar Vetiver(Chrysopogon zizanioides, L) Bisa Mencapai 2 m
Vetiver pertama kali dikembangkan oleh World Bank untuk konservasi tanah dan air di India pada pertengahan tahun 1980. Selanjutnya banyak diaplikasikan untuk pengelolaan tanah pertanian selama kurang lebih 20 tahun (Truong dkk, 2009).
Keistimewaannya adalah akarnya yang sangat panjang sehingga dapat melebihi panjang bagian yang tumbuh di atas tanah (Gambar 2). Vetiver ini mempunyai karakteristik/keunggulan luar biasa karena memiliki tingkat toleransi terhadap kondisi klimat dan tanah yang beragam, sehingga sekarang banyak digunakan sebagai teknik bioengineering dan fitoremediasi untuk mitigasi lingkungan seperti stabilisasi daerah lereng, stabilisasi infrastruktur, rehabilitasi tanah pertambangan (air asam tambang dan batuan penutup), pembuangan air limbah, perangkap sedimen (sediment trap), fitoremediasi yang mengkontaminasi tanah dan air, dan beberapa kegiatan lain dari pengendalian dampak lingkungan hidup (Truong dkk, 2008). Di samping itu vetiver juga dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak sapi dan kerbau, bahkan akarnya dimanfaatkan sebagai minyak atsiri untuk parfum (Gambar 3 dan 4).
 
Gambar 3. Beberapa Mitigasi Lingkungan Menggunakan Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L)

Gambar 4. Hasil Kerajinan dan Parfum (minyak atsiri) Akar Rumput Vetiver
Hasil ujicoba yang peneliti lakukan Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) ini juga mampu tumbuh dengan baik pada tempat yang tergenang/wetland area (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan Vimala (2004), vetiver mampu bertahan hidup di daerah tergenang (wetland area) dan daerah bersalinitas moderat. Truong dkk (2008), juga menyatakan bahwa rumput vetiver ini mampu tumbuh di wetland area dan efektif mengurangi air limbah.
Truong dkk (2008), Vetiver mempunyai kemampuan hidup dengan cakupan kondisi yang sangat beragam dan sangat luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) karena rumput ini mempunyai karakteristik unik. Adapun karakteristik rumput vetiver diuraikan pada alinea berikutnya.

Gambar 5.  Adaptasi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) dalam Wadah tergenang
Karakteristik Morfologi
Rumput vetiver tidak memiliki stolons atau rimpang, akarnya halus terstruktur dapat tumbuh dengan sangat cepat (dalam beberapa aplikasi kedalaman perakaran dapat mencapai 3-4 m pada tahun pertama). Sistem akar yang dalam ini membuat tanaman ini sangat toleran kekeringan dan sulit tercabut oleh arus yang kuat dan apabila batang tanaman ini terkubur oleh sedimen yang terperangkap maka akan tumbuh akar baru pada batang.
Batangnya keras dan tegak yang dapat mengatasi aliran air yang relatif kuat. Karakteristik lainnya, rumput ini sangat tahan terhadap hama, penyakit dan api.
Melihat keadaan ini maka vetiver bisa ditanam dengan kerapatan tinggi dalam satu baris, sehingga mampu menahan dan memperlambat laju run off dan efektif menjadi filter trapping untuk sedimen (Truong dkk, 2008; Golabi, dkk, 2005; Metcalfe dkk, 2003).
Karakteristik Fisiologi
Keunikan fisiologi dari rumput ini adalah bahwa vetiver mempunyai tingkat toleransi yang tinggi, baik terhadap kondisi kekeringan maupun basah (banjir); keasaman dan kebasaan (pH 3,3 – 12,5); suhu -14 - 55 oC,  curah hujan minimum 300 mm, tumbuh dengan baik kondisi kelembaban tinggi walaupun dapat pula tumbuh di tanah yang kering dan sinar matahari penuh, salinitas antara 0 – 22,5 O/OO (Truong dkk, 2009).
Selain itu vetiver juga memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kandungan logam berat yang tinggi, persen pengurangan (% high removal) untuk N dan P dari pencemar air organik, % high removal COD, N, dan P pada leachate yang berasal dari sampah organik.
Karaktersitik Hidrologi
Golabi dkk (2005); Metcalfe dkk (2003), Summerfelt dkk,1999,   karakteristik hidrologi dari rumput vetiver ini adalah memiliki kemampuan untuk menahan kecepatan arus (Reducing flow velocity), perangkap sedimen di dalam badan air (Trapping sediment) yang berisi nutrien, herbisida dan pestisida, dan kontrol sedimen (bio-filter) serta masalah kualitas air lainnya.
Upaya Penghilangan Dan Penstabilan Limbah Budidaya Perikanan
            Mekanisme penghilangan dan penstabilan limbah tergantung pada kontaminan (misal limbah organik khususnya kandungan N dan P serta pestisida), kondisi lokasi, tingkat pembersihan yang diinginkan, dan jenis tanaman yang digunakan.
Pengertian Phyto berasal dari kata Yunani/greek phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), remediation asal kata Latin remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi (fitoremediasi) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi.
Fitoremediasi ini menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan limbah/daerah yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Konsep penggunaan tanaman untuk menghilangkan nutrien yang berasal dari air limbah dan senyawa-senyawa lain sudah diimplementasikan 300 tahun yang lalu pada pembuangan air limbah.
Teknologi fitoremediasi dapat digunakan untuk penahanan (phytoimmobilization dan phytostabilization) atau penghapusan/penghilangan (phytoextraction dan phytovolatilization) (Thangavel dan Subhuram 2004). Teknologi fitoremediasi memiliki mekanisme yang berbeda dalam tindakan untuk remediasi tanah, sedimen, atau air yang terkontaminasi.
Mekanisme remediasi tumbuhan (Vetiver) berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya :
1.    Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga hyperacumulation.
2.    Rhizofiltration (rhizo= akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.
3.    Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media (Gambar 6).
4.    Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada disekitar akar tumbuhan, misalnya ragi, fungi dan bakteri.
5.    Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6.    Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang.
 
Gambar 6. Skematik Mekanisme Penstabilan (phytostabilization)

Beberapa karakteristik rumput vetiver yang sudah diuraikan di atas menunjukkan bahwa vetiver mempunyai kemampuan yang luar biasa, sebagai Bioengineering (rekayasa teknologi dengan memanfaatkan tanaman) dan fitoremediasi (penggunaan teknologi hijau dengan menggunakan tanaman yang berfungsi menghilangkan pencemar yang mengkontaminasi tanah dan air).
            Fitoremediasi rumput vetiver ini karena (1) memiliki akar yang panjang sehingga rumput ini mampu mengikat sedimen yang mengandung pencemar dengan baik; (2) tingkat toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim (kualitas air/studi kasus N, P dan pestisida maupun keadaan iklim); (3) kemampuan menahan dorongan arus dan memperangkap sedimen yang mengandung nutrien N dan P serta pestisida (herbisida).
            Kajian-kajian tentang kemampuan rumput vetiver sebagai fitoremediasi terhadap limbah budidaya perikanan masih sangat jarang, apalagi penelitian serupa belum ada di Indonesia.
            Kajian kemampuan menghilangkan dan menstabilkan limbah budidaya perikanan, terutama sludge yang berasal dari feces dan sisa pakan pernah dilakukan di Virginia Barat khususnya pada kegiatan budidaya ikan trout (air tawar) dengan sistem resirkulasi (Summerfelt dkk,1999).
            Summerfelt dkk (1999), fokus pada pengendalian limbah budidaya ikan (organik dan lumpur) dengan cara penangkapan dan stabilisasi limbah tersebut dalam sistem yang dibuat pada lahan basah dengan sistem resirkulasi.
            Hasil percobaan Summerfelt dkk (1999), menunjukkan bahwa penghapusan dan stabilisasi lumpur terjadi pada kedua jenis lahan basah (Vertical Flow Wetland/VFW dan horizontal flow wetland/HFW). Pada VFW dan HFW, masing-masing, bisa menghapus TSS 98% dan 96, 91% dan total COD 72% dan 81%. Kedua jenis lahan basah mampu menghapus, 82-93%, nitrogen dan  fosfat terlarut.
            Hasil percobaan Marcacci, S. et al. (2006), mekanisme resistensi dari vetiver (Chrysopogon zizanioides, Nash) untuk atrazin diteliti untuk fitoremediasi lingkungan yang terkontaminasi dengan herbisida. Tanaman yang dikenal mengandalkan dimediasi oleh hidroksilasi atrazin metabolisme benzoxazinones, dikatalisis oleh glutation konjugasi-S-transferase (GST) dan dealkylation mungkin dimediasi oleh sitokrom P450. Semua tiga kemungkinan yang dieksplorasi dalam vetiver dewasa tumbuh dalam hidroponik selama penelitian ini. Di sini kita melaporkan peran glutathione-S-transferase dalam detoksifikasi atrazin, sebagaimana ditentukan dalam daun dan akar pada rumput vetiver umur 5-minggu-dan 8-bulan yang ditanam secara hidroponik.
            Selanjutnya dijelaskan, secara keseluruhan, karakteristik ini menunjukkan bahwa konjugasi metabolik dengan glutation merupakan jalur utama untuk detoksifikasi atrazin vetiver. Ini terlihat dari hasil penelitian bahwa produksi konjugat maksimum teramati pada ujung daun sebesar 29 nmol biomassa g-1 segar, sedangkan di akar hanya 6 nmol biomassa g-1 segar).
Penutup
Vetiver mempunyai kemampuan hidup dengan cakupan kondisi yang sangat beragam dan sangat luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) karena rumput ini mempunyai karakteristik unik.
Karakteristik unik dari rumput vetiver ini dan karakteristik limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya ikan, baik berupa nutrien maupun herbisida maka berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, upaya untuk penghilangan dan penstabilan limbah budidaya ikan khususnya untuk nutrien N dan P serta herbisida (diuron) ternyata dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan fitoremediasi Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides, L).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Diuron. WSDOT Roadside Vegetation Management Herbicide Fact Sheet. The Washington State Department of Transportation (WSDOT), Washington.
Bony, S., C. Gillet, A. Bouchez, C. Margoum, and A. Devaux. 2008. Genotoxic pressure of vineyard pesticides in fish: Field and mesocosm surveys. Aquatic Toxicology 89 (2008) 197–203. journal homepage: www.elsevier.com/locate/aquatox.
Chu, J.C.W. 1996. Environmental Management of Mariculture: The Effect of Feed Types on Feed Waste. Regional Workshop on Seafarming and Grouper Aquaculture. Agriculture Fisheries and Conservation Department, Hongkong.
Connel, D.W. dan Gregory J. M. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah : Yanti Koestoer dan Sahati. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), akarta.
Cox, C. 2003. Herbicide Factsheet-Diuron. Journal Of Pesticide Reform/Spring 2003, Vol. 23, No. 1. Northwest Coalition For Alternatives To Pesticides/NCAP.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Review of National Fisheries (Analaisis Data Kelautan dan Perikanan 2007), Jakarta.
Emerson, C.1999. Aquaculture Impacts on the Environment. Proquest Journal online (http://www.csa.com/discoveryguides/aquacult/overview.php).
Garno, Y. Soetrisno. 2004. Biomanipulasi, Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah Organik Budidaya Perikanan Di Waduk Dan Tambak. BPPT, Jakarta (tidak dipublikasikan).
Golabi, M H., C. Iyekar, D. Minton, C.L. Raulerson, and J.C. Drake. 2005. Watershed Management to Meet Water Quality Standards by Using the Vetiver System in Southern Guam. College of Natural and Applied Sciences, University of Guam Mangilao, Guam, USA.
Grepin, G. 2010. Impact of aquaculture on environment. e-bulletin Fisheries and Aquaculture Department (http://www.fao.org/fishery/topic/14894/en).
Handayani, S  dan F. Nurdiana. 2003. Aspek Kependudukan versus Ketahanan Pangan, Media Indonesia: 16 Oktober 2003, Jakarta.
Islam, Md. Shahidul. 2005.  Nitrogen and phosphorus budget in coastal and marine cage aquaculture and impacts of effluent loading on ecosystem: review and analysis towards model development. Marine Pollution Bulletin 50 (2005) 48–61. journal homepage: www.elsevier.com/locate/marpolbul.
Kioussis, D. R., Fredrick W. Wheaton and Peter Kofinas. 2000. Reactive nitrogen and phosphorus removal from aquaculture wastewater effluents using polymer hydrogels. Aquacultural Engineering 23 (2000) 315–332. journal homepage:  www.elsevier.nl:locate:aqua-online.
Marcacci, S., Muriel Raveton, Patrick Ravanel, dan Jean-Paul Schwitzgu´ebel. 2006. Conjugation of atrazine in vetiver (Chrysopogon zizanioides Nash) grown in hydroponics. Environmental and Experimental Botany 56 (2006) 205–215.
Metcalfe, O., P. Truong, and R. Smith. 2003. Hydraulic Characteristics of Vetiver Hedges in Deep Flows. Toowoomba, Queensland, Australia.
Nybakken, J.W. (1992). Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Perschbacher, P. W. and Gerald M. Ludwig. 2004.  Effects of diuron and other aerially applied cotton herbicides and defoliants on the plankton communities of aquaculture ponds. Aquaculture 233 (2004) 197–203. journal homepage: www.elsevier.com/locate/aqua-online.
Sanz-Lázaro, Carlos, María Dolores Belando, Lázaro Marín-Guirao, Francisco Navarrete-Mier, Arnaldo Marín. 2011. Relationship between sedimentation rates and benthic impact on Maërl beds derived from fish farming in the Mediterranean. Marine Environmental Research 71 (2011) 22-30. journal homepage: www.elsevier.com/locate/marenvrev.
Summerfelt, S.T., P.R. Adler, D.M. Glenn, and R.N Kretschmann,. 1999. Aquaculture Sludge Removal and Stabilization within Created Wetlands (using Vetiver Grass). Aquacultural Engineering 19 (1999) 81–92 (Elsevier).
Truong, Paul dan R. Loch. 2004. Vetiver System For Erosion And Sediment Control. ISCO 2004 - 13th International Soil Conservation Organisation Conference – Brisbane, Australia.
Truong, Paul, T. T. Van, and E. Pinners,. 2008. The Vetiver System for Prevention And Treatment Of Contaminated Water And Land. TVN-series2-2pollution.htm.
Vimala, Y., and S. K. Kataria. 2004. Physico-Chemical Study of Vetiver in Wetland Soil Reclamation. Dept of Botany, CCS University, Meerut, UP, India.