Jumat, 17 Februari 2012

STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN AIR DI SUNGAI CAKUNG YANG BERMUARA DI PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA


Pendahuluan
            Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Tetapi dalam melakukan pembangunan, seringkali manusia hanya memikirkan kepentingan/keuntungan dari segi ekonomi saja tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan ekologis pada lingkungan berupa pencemaran, yakni pencemaran pada ekosistem darat, udara maupun perairan.
            Ekosistem perairan sering dijadikan tempat buangan limbah, baik limbah domestik maupun non domestik seperti limbah industri, sehingga besarnya beban pencemaran yang masuk ke perairan tergantung pada kegiatan yang ada di sekitar perairan tersebut. Untuk daerah pemukiman beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata pembuangan limbah perorang serta banyaknya aktifitas lain yang menyatu dengan permukiman.
            Menurut Sutjahjo et al. (2005) rata-rata limbah per kapita penduduk di Jakarta Utara adalah 2,51 liter per hari, sedangkan yang terangkut 2,24 liter per hari, yang tidak terangkut 0,27 liter per hari. Limbah yang tidak terangkut ini akan terbuang melalui sungai, salah satunya melalui Sungai Cakung yang bermuara di perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara.            Sungai tersebut merupakan salah satu tempat pembuangan sampah domestik masyarakat dan industri, yang secara akumulatif menambah jumlah beban pencemar di Pelabuhan Perikanan Cilincing.
            Ada berbagai jenis limbah yang masuk ke dalam sungai tersebut, diantaranya adalah limbah cair yang dihasilkan dari industri. Hal ini dapat dilihat dari jenis dan ukuran industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan limbah air yang ada. Selain itu dunia industri maupun dunia usaha yang membuang limbahnya ke Sungai Cakung Drain yang terdatapun cukup banyak jumlahnya, saat ini terdata sebanyak 71 unit dengan berbagai kegiatan industri dan dunia usaha.
            Selain hal tersebut di atas, Kota Jakarta Utara juga merencanakan melakukan pengembangan wilayah tersebut menjadi permukiman nelayan di wilayah Jakarta Utara, yang direncanakan dalam satu perencanaan yang komprehensif dan integrasi sehingga pembangunan akan merupakan satu kesatuan blok yang di dalamnya mencakup pembangunan : a) pembangunan rumah susun nelayan; b) bangunan penunjang dermaga, tempat pelelangan ikan, pemasaran ikan dan tempat pembelanjaan. Untuk itu diperlukan strategi kebijakan untuk pengelolaan wilayah perairan tersebut.
            Pencarian alternatif kebijakan untuk mengendalikan kualitas perairan perlu melibatkan pendapat berbagai stakeholders yang terkait dengan penyusunan strategi pengelolaan kualitas perairan. Hal ini penting dilakukan guna mendapatkan pandangan yang komprehensif mengenai strategi kebijakan pengelolaan yang baik menjadi prioritas untuk diterapkan di perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara. Dengan demikian maka selain memperhatikan persepsi masyarakat, juga perlu studi yang dapat menangkap padangan berbagai stakeholder untuk mengelola kualitas perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing, Jakarta Utara.
Tujuan
            Menyusun strategi pengelolaan kualitas perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara yang berkelanjutan.
Landasan Teori
a.    Pengertian Analytic Hierarchy Process
            Metode Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman, pengetahuan, emosi, dan rasa untuk dioptimasi dalam suatu proses yang sistematis, serta mampu membandingkan secara berpasangan hal-hal yang tidak dapat diraba maupun yang dapat diraba, data kuantitatif maupun yang kualitatif. Metode AHP ini mulai dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika yang bekerja pada University of Pittsburgh di Amerika Serikat, pada awal tahun 1970-an (Marimin, 2008; Marimin, 2010) .
            AHP memungkinkan pengguna untuk menentukan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan. Mengubah perbandingan berpasangan tersebut menjadi suatu himpunan bilangan yang mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif dengan cara yang konsisten ( Saaty, 1983, dalam Marimin, 2008; Marimin, 2010).
            Pada perkembangannya, AHP dapat memecahkan masalah yang kompleks atau tidak berkerangka dengan aspek atau kriteria yang cukup banyak. Kompleksitas ini disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan, serta ketidakpastian tersedianya atau bahkan tidak ada sama sekali data statistik yang akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak mungkin dapat dicatat secara numerik, hanya secara kualitatif saja yang dapat diukur, yaitu berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi, Namun, tidak menutup kemungkinan, bahwa model-model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan keputusan dengan pendekatan AHP, khususnya dalam memahami para pengambil keputusan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini (Yahya, 1995 dalam Iryanto, 2008).
b. Efektifitas Pengambilan Keputusan dengan AHP
            Metode AHP mempunyai keunggulan dalam memecahkan masalah-masalah multikriteria, masalah yang tak terstruktur, yang dapat diraba maupun yang tidak dapat diraba bahkan masalah yang tidak mempunyai data statistik. Metode AHP mampu menyerap persepsi, preferensi dan pengalaman pengambil keputusan dan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (Iryanto, 2008).
            Iryanto (2008); Marimin (2008); Marimin (2010), pengambilan keputusan dengan metode AHP memungkinkan untuk memandang permasalahan dengan kerangka berpikir yang tertata, sehingga pengambilan keputusan menjadi efektif. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan masalah yang kompleks, yang tak terstruktur, strategis dan dinamis menjadi bagian-bagian yang terstruktur dan menata variabel dalam hirarki. AHP menentukan tingkatan kepentingan setiap variabel, dan secara subjektif memberi numerik suatu variabel tentang arti pentingnya secara relatif dibanding dengan variabel lainnya secara berpasangan. Dari berbagai pertimbangan tersebut AHP melakukan sintesa untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut. AHP juga dapat menangani masalah yang elemen-elemennya saling tergantung dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
Metode Penelitian
            Pengambilan data dilakukan melalui studi pustaka dan pengisian kuesioner (proses AHP) oleh responden pakar. Penentuan struktur hirarki dan pembuatan kuesioner AHP dilakukan bersama-sam dengan responden pakar guna memberikan hasil yang optimal.
            Penetapan responden disesuaikan dengan pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini, responden sebagai pakar ditentukan berdasarkan teknik pemilihan pakar. Dalam hal ini pakar yang dimaksud meliputi para ahli di bidang lingkungan (pengelolaan lingkungan hidup, kimia lingkungan dan teknik lingkungan), baik dari kalangan akademisi, birokrasi dan praktisi.        Adapun pakar yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 orang.
            Penilaian dengan teknik perbandingan (komparasi) dan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas teringgi, dan pengolahan untuk menyusun prioritas pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (goal) serta  pengambilan keputusan dengan menggunakan software Expert Choice 11.
Metode Analisis
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah AHP, yang merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
(1)     Analisa Kebutuhan
            Dalam analisis kebutuhan sudah dilakukan identifikasi pelaku (aktor) yang berperan dalam melakukan pengendalian pencemaran perairan di sungai cakung yang bermuara di perairan pelabuhan perikanan Cilincing Jakarta Utara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Kebutuhan
Aktor
Kebutuhan
1.      Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot JAKUT
1.      Melakukan pemetaan wilayah-wilayah strategis (permukiman nelayan, pelabuhan perikanan dll) yang berpotensi menimbulkan pencemaran perairan;
2.       Menentukan resiko/kerugian yang dapat ditimbulkan akibat terjadinya pencemaran perairan (ekologi, sosial budaya dan ekonomi);
3.      Implementasi kebijakan pengendalian pencemaran perairan.
2.      Masyarakat Pesisir (Nelayan, Pelaku lainnya)
1.      Pencemaran perairan dapat dikendalikan;
2.      Mata pencaharian masyarakat pesisir (nelayan) tidak terganggu.
3.      Litbang/Perguruan Tinggi
1.      Tersedianya informasi pencemaran dan resikonya bagi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi.
2.      Perhitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) jika terjadi pencemaran dan tidak terjadi pencemaran.
3.      Sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat penyebab dan penerima resiko pencemara air.
4.      LSM
1.      Advokasi/pendampingan kepada masyarakat yang terkena pencemaran air;
2.      Terkendalinya pencemaran air;
3.      Tetap terjaganya lapangan pekerjaan masyarakat pesisir (nelayan dll).
5.      Industri
1.      Perlunya pengendalian di tingkat industri, baik pendekatan kawasan maupun sendiri-sendiri berupa IPAL;
2.      Perlu adanya kepastian hukum/dasar hukum yang kuat dalam penerapan IPAL dan berlaku sama untuk semua komponen penghasil bahan pencemar;
3.      Adanya kompensasi dari pemerintah apabila industri berhasil melakukan pengendalian pencemaran, baik melalui pengurangan pajak atau yang lainnya.

(2)     Struktur Hirarki Pengendalian Pencemaran Perairan
Fokus : Pengelolaan pencemaran perairan di sungai cakung yang bermuara di perairan pelabuhan perikanan Cilincing Jakarta Utara (Level 1)
Faktor/Kriteria (Level 2) :
1.      Tersediannya anggaran pemerintah untuk pengelolaan dan pembangunan instalasi pengolahan air limbah komunal/domestik (IPALD) berbasis permukiman/kawasan;
2.      Tersedianya SDM dan kelembagaan pengendalian pencemaran perairan yang handal;
3.      Dampak sosial-budaya akibat pencemaran perairan;
4.      Dampak sosial-ekonomi akibat pencemaran perairan;
5.      Seluruh industri dan permukiman sudah memiliki IPAL dan berjalan dengan baik;
6.      Adanya kebijakan pengendalian pencemaran perairan.
Aktor (Level 3) : 
·         PEMDA (Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Kota)
·         Masyarakat (Nelayan, anggota masyarakat lainnya)
·         Litbang/PT (Lembaga penelitian dan pengembangan serta Perguruan Tinggi)
·         LSM (LSM lokal yang berkecimpung dalam lingkungan hidup)
·         Industri (berbagai kegiatan industri dan dunia usaha)
Tujuan (Level 4) :
·         Melindungi perairan pelabuhan perikanan Cilincing (termasuk sungai cakung ) dari pencemaran;
·         Pengendalian pencemaran perairan sungai cakung hingga pelabuhan perikanan Cilincing;
·          Pencegahan pencemaran perairan sungai cakung hingga pelabuhan perikanan Cilincing;
Alternatif (Level 5) :
1.      Menata kembali kawasan permukiman nelayan/masyarakat nelayan dan melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan tentang resiko pencemaran perairan;
2.      Meningkatkan kordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar stakeholder dalam rangka meningkatkan kepedulian stakeholder dalam perlindungan dan pengendalian pencemaran perairan;
3.      Mewajibkan industri memiliki IPAL dan penyediaan IPALD untuk permukiman oleh pemda;
4.      Penegakan hukum atas kewajiban industri untuk mengolah limbahnya terlebih dahulu;

Gambar 1. Struktur AHP Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air
Hasil Dan Pembahasan
a.    Penentuan Skala Prioritas terhadap Kriteria yang Menjadi Bahan Pertimbangan Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air
            Analisis pendapat gabungan para responden menunjukkan bahwa Ketersediaan Anggaran (nilai bobot 0,23) merupakan kriteria paling penting yang perlu diperhatikan dalam menentukan kebijakan pengelolaan pencemaran air di perairan Pelabuhan Cilincing.
            Kriteria berikutnya yang perlu diperhatikan adalah kriteria SDM dan Kelembagaan (nilai bobot 0,211), beroperasinya IPAL dan IPALD (nilai bobotnya 0,207), Dampak SOSBUD akibat pencemaran air (nilai bobotnya 0,154), Adanya Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air (nilai bobotnya 0,12) dan Dampak SOSEK akibat pencemaran air (nilai bobotnya 0,077). Setiap kriteria yang dipertimbangkan dalam menentukan Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air di Pelabuhan Perikanan Cilincing disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2.  Kriteria Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air Pelabuhan Perikanan Cilincing.
            Terpilihnya kriteria ketersediaan anggaran sebagai prioritas utama dalam menentukan Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air di Pelabuhan Perikanan Cilincing, mencerminkan bahwa kegiatan pengelolaan pencemaran air sangat erat kaitannya dengan ketersediaan dana untuk melakukan pengelolaan pencemaran air itu sendiri. Ada empat hal pokok yang menjadi implikasi dari tersedianya dana pengelolaan, yakni (1) kenerja SDM dan kelembagaan yang baik akan meningkatkan upaya pengelolaan pencemaran air (baik berupa perlindungan, pengendalian maupun pencegahan pencemaran air), (2) kemampuan pemerintah menyiapkan infrastruktur komunal dalam pengelolaan pencemaran air (IPALD), (3) kemampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap beroperasinya IPAL di setiap industri, (4) kemampuan pemerintah menekan resiko gangguan SOSEKBUD akibat terjadinya pencemaran air.

b.        Penentuan Skala Prioritas terhadap Aktor dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air
            Berdasarkan pendapat responden (para ahli) terhadap peran aktor dalam menunjang keberhasilan pengelolaan pencemaran air (Tabel 2 dan Gambar 3), para ahli berpendapat bahwa saat ini pelaku yang mendapat prioritas pertama untuk diperhatikan dan ditingkatkan perannya dalam pengelolaan pencemaran air adalah PEMDA dengan nilai prioritas/bobot sebesar 0,273.
            Prioritas kedua, ketiga dan seterusnya adalah LSM dengan nilai bobot 0,239, Masyarakat nilai bobotnya 0,223, Industri dengan nilai bobot sebesar 0,175, dan yang terakhir adalah Litbang/Perguruan Tinggi nilai bobotnya 0,152 (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Penentuan Skala Prioritas terhadap Aktor (Nilai Agregat)

Anggaran
SDM
Sosbud
Sosek
IPAL
Kebijakan
Nilai
(0.231)
(0.211)
(0.154)
(0.077)
(0.27)
(0.12)
Agregat
Pemda
0.223
0.268
0.207
0.238
0.248
0.4
0.273225
Masyarakat
0.18
0.212
0.287
0.212
0.207
0.17
0.223124
Litbang/PT
0.152
0.208
0.164
0.084
0.089
0.142
0.151794
LSM
0.283
0.2
0.23
0.246
0.203
0.186
0.239065
Industri
0.163
0.111
0.111
0.22
0.254
0.102
0.175928

Gambar 3. Prioritas Aktor dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air Pelabuhan Perikanan Cilincing.
            PEMDA dianggap sebagai aktor yang harus memegang peran utama dalam kebijakan pengelolaan pencemaran air karena dengan asumsi bahwa dengan ketersediaan anggaran oleh pemerintah maka upaya untuk melakukan pengelolaan pencemaran air Pelabuhan Perikanan Cilincing dapat dilakukan dengan sebaik mungkin. Kemudian agar upaya ini berjalan dengan baik dan untuk meningkatkan kinerja pemerintah maka perlu adanya pengawasan/kontrol dari lembaga independen agar kerja kelembagaan dan SDM yang tupoksinya melakukan pengelolaan pencemaran air akan berjalan dengan baik, efektif dan optimal dalam penggunaan anggaran tersebut.
            PEMDA sebagai aktor prioritas pertama memegang peran dalam menyukseskan pengelolaan pencemaran air karena PEMDA merupakan lembaga pemegang anggaran yang mempunyai kewajiban melindungi dan memberdayakan masyarakat untuk kesejahteraan rakyat.
            Masyarakat dan Industri sebagai penghasil limbah cair juga berperan dalam pengelolaan pencemaran air tersebut karena sebagai penghasil pencemar (bahan yang menyebabkan pencemaran) mereka bisa berperan dengan cara melakukan pengurangan limbah (diupayakan menghasilkan limbah seminimum mungkin).
            LITBANG ataupun Perguruan Tinggi, walaupun merupakan aktor dengan prioritas paling akhir, akan tetapi keduanya memiliki peran penting dalam pengelolaan pencemaran air tersebut karena LITBANG/PT mempunyai tanggungjawab melakukan penelitian.
c.         Penentuan Skala Prioritas terhadap Tujuan dari Pelaku (Aktor) dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air
            Hasil penilaian para ahli terhadap tujuan dari aktor dalam strategi pengelolaan pencemaran air (Gambar 4) diperoleh bahwa prioritas pertama adalah melakukan pencegahan (nilai bobot (0,385), sedangkan prioritas kedua adalah pengendalian (nilai bobot 0,331) dan ketiga adalah melakukan perlindungan dengan nilai bobot 0,286.



Tabel 2. Penentuan Skala Prioritas Anggaran vs Tujuan (Nilai Agragat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.224
0.275
0.426
0.4
0.278
0.281233
Pengendalian
0.154
0.076
0.14
0.205
0.403
0.197765
Pencegahan
0.622
0.649
0.434
0.395
0.32
0.464272

Tabel 3. Penentuan Skala Prioritas SDM & Kelembagaan vs Tujuan (Nilai Agragat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.413
0.153
0.279
0.098
0.242
0.243538
Pengendalian
0.195
0.301
0.36
0.451
0.465
0.324273
Pencegahan
0.391
0.546
0.36
0.451
0.293
0.374804

Tabel 4. Penentuan Skala Prioritas SOSBUD vs Tujuan (Nilai agregat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.445
0.284
0.168
0.433
0.226
0.282952
Pengendalian
0.189
0.431
0.333
0.283
0.506
0.344293
Pencegahan
0.367
0.285
0.5
0.283
0.267
0.315793

Tabel 5. Penentuan Skala Prioritas SOSEK vs Tujuan (Nilai agregat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.449
0.285
0.262
0.424
0.226
0.29787
Pengendalian
0.204
0.417
0.404
0.285
0.506
0.355892
Pencegahan
0.347
0.298
0.334
0.292
0.267
0.289045

Tabel 6. Penentuan Skala Prioritas IPAL vs Tujuan (Nilai agregat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.433
0.168
0.262
0.433
0.226
0.27018
Pengendalian
0.234
0.333
0.404
0.283
0.506
0.344944
Pencegahan
0.333
0.5
0.334
0.283
0.267
0.32774




Tabel 7. Penentuan Skala Prioritas Kebijakan vs Tujuan (Nilai agregat)

Pemda
Masyarakat
Litbang
LSM
Industri
Nilai
0.273225
0.223124
0.151794
0.239065
0.175928
Agregat
Perlindungan
0.108
0.566
0.248
0.105
0.226
0.251671
Pengendalian
0.431
0.152
0.437
0.384
0.506
0.365119
Pencegahan
0.461
0.282
0.315
0.511
0.267
0.32594

Tabel 8. Penentuan Skala Prioritas Tujuan vs Faktor (Nilai agregat)

Anggaran
SDM
Sosbud
Sosek
IPAL
Kebijakan
Nilai
0.231
0.211
0.154
0.077
0.27
0.12
Agregat
Perlindungan
0.281233
0.243538
0.282952
0.29787
0.27018
0.251671
0.286011
Pengendalian
0.197765
0.324273
0.344293
0.355892
0.344944
0.365119
0.331479
Pencegahan
0.464272
0.374804
0.315793
0.289045
0.32774
0.32594
0.384822

Gambar 4. Prioritas Terhadap Tujuan dari pelaku dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air Pelabuhan Perikanan Cilincing.
            Nilai prioritas untuk tujuan pencegahan dan pengendalian memiliki bobot yang hampir sama, yakni 0,385 dan 0,331, sehingga kedua tujuan ini kurang lebih memiliki peran yang sama dalam mencapai tujuan pelaku dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air Pelabuhan Perikanan Cilincing.
            Pencegahan, yakni mengurangi atau menghilangkan limbah pada sumbernya dengan memodifikasi proses produksi, mempromosikan penggunaan zat non-toksik atau kurang-beracun, menerapkan teknik konservasi, dan menggunakan kembali (reuse) bahan daripada menempatkan mereka ke dalam aliran limbah. Bentuk pencegahan lainnya adalah pengaturan dan instrumen ekonomik. Sarana pengaturan sifatnya tradisional dan biasanya berupa izin serta persyaratan pemakaian teknologi pengolahan limbah (IPAL). Instrumen ekonomik merupakan hal yang relatif baru. Contohnya: pungutan (charges) pencemaran air dan lain-lain.
            Prioritas berikutnya adalah Pengendalian terhadap Lingkungan Hidup (pencemaran air) adalah merupakan satu set prinsip-prinsip kebijakan untuk melakukan upaya penanggulangan atau penanganan terhadap air limbah yang pasti dihasilkan dari aktifitas rumah tangga maupun industri, sebagai hasil sampingan kegiatan tersebut. Dengan melakukan pengendalian maka diharapkan bahwa effluent yang dikeluarkan (rumah tangga dan industri) sudah tidak melampaui ambang batas yang diperbolehkan untuk masuk ke badan perairan sehingga akhirnya mampu melindungi lingkungan hidup dari terjadinya pencemaran air.
d.        Penentuan Skala Prioritas Strategi Pengelolaan Pencemaran Air Berdasarkan Alternatif
            Berdasarkan pertimbangan setiap level yang dikemukakan dalam studi AHP ini, dapat dianalisis prioritas kebijakan pengelolaan pencemaran air Pelabuhan Perikanan Cilincing yang sebaiknya diprioritaskan untuk diterapkan di Sungai Cakung dan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara (Gambar 6).   
            Pendapat para pakar bahwa prioritas pertama adalah alternatif kegiatan menata ulang kawasan permukiman nelayan/masyarakat nelayan dan melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar sungai Cakung hingga Pelabuhan Perikanan Cilincing dengan nilai bobot sebesar 0,295, yang disusul oleh alternatif kegiatan mewajibkan industri memiliki IPAL dan penyediaan IPALD (komunal) untuk permukiman masyarakat oleh PEMDA (nilai bobot 0,279). Kemudian diikuti oleh alternatif kegiatan meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar stakeholder dalam rangka meningkatkan kepedulian stakeholder dalam pengelolaan pencemaran air (nilai bobot 0,257) dan alternatif terakhir adalah kegiatan penegakan hukum atas kewaiban industri untuk mengolah limbahnya (nilai bobot 0,169). Skala prioritas alternatif strategi kebijakan pengelolaan pencemaran air disajikan pada Gambar 5. Sedangkan performance dari semua alternatif menunjukkan dengan jelas bahwa menata ulang kawasan merupakan prioritas utama, yang diikuti oleh alternatif ketiga, yakni wajib memiliki IPAL/D dan Adanya koordinasi antar stakeholder. Sedangkan untuk alternatif penegakan hukum disini tidak terlalu menjadi perhatian para ahli sebagai alternatif yang dapat digunakan dalam pengelolaan pencemaran air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
            Alternatif kegiatan penataan ulang kawasan dipilih oleh para ahli karena apabila areal permukiman dan industri di kawasan tersebut dapat ditata atau dikelola dengan baik diduga dapat mengurangi/menghilangkan resiko pencemaran perairan kawasan tersebut, sehingga alternatif kegiatan lain menjadi pelengkap dari alternatif kegiatan prioritas pertama.
 
Gambar 5. Prioritas Terhadap Alternatif Kegiatan dalam Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air Pelabuhan Perikanan Cilincing

Gambar 6. Nilai Bobot (Agregat) Setiap Hirarki Strategi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Air
e.    Penentuan Prioritas antara Menata Ulang Vs Koordinasi Stakeholder
            Jika ditinjau dari 6 kriteria, seperti tersedianya anggaran, tersedianya SDM dan Kelembagaan, dampak SOSBUD, dampak SOSEK, tersedianya IPAL/D dan adanya kebijakan pemerintah, maka  alternatif menata ulang kawasan merupakan prioritas utama dibandingkan dengan meningkatkan koordinasi stakeholder, yakni dengan nilai pembobotan keseluruhan sekitar 4%. Untuk lebih memperjelas perbandingan skala prioritas antara menata ulang kawasan dan meningkatkan koordinasi stakeholder ditinjau dari setiap aspek, dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa jika titik berat penentuan/pemilihan alternatif menggunakan semua kriteria (6 kriteria) maka menata ulang kawasan menjadi pilihan prioritas pertama.
Gambar 7.  Pembobotan antara Menata Ulang Kawasan dengan Meningkatkan koordinasi stakeholder.
f.     Penentuan Prioritas antara Menata Ulang Vs Memiliki IPAL/D
            Jika ditinjau dari faktor kriteria, dimana terdapat 5 kriteria, seperti tersedianya anggaran, tersedianya SDM dan Kelembagaan, dampak SOSBUD, dampak SOSEK, tersedianya IPAL/D (kecuali adanya kebijakan pemerintah yang lebih ke arah kepemilikan IPAL/D), maka alternatif menata ulang kawasan masih merupakan prioritas utama dibandingkan dengan wajib memiliki IPAL/D dengan nilai pembobotan keseluruhan sekitar 1,57%. Hal ini terlihat jelas pada skema perbandingan antar keduanya, dimana bar (warna biru) hampir semuanya ke arah menata ulang kawasan dan hanya bar (warna hijau) pada kriteria adanya kebijakan pemerintah yang mengarah ke wajib memiliki IPAL/D. Ini artinya bahwa jika titik beratnya adalah tersedianya anggaran, tersedianya SDM dan Kelembagaan, dampak SOSBUD, dampak SOSEK, tersedianya IPAL/D (5 kriteria) maka Menata ulang menjadi prioritas utama yang akan dipilih. Untuk lebih jelasnya perbandingan skala prioritas antara menata ulang kawasan dan wajib memiliki IPAL/D yang ditinjau dari setiap kriteria, dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8.  Pembobotan antara Menata Ulang Kawasan dengan Meningkatkan koordinasi stakeholder.
g.    Penentuan Prioritas antara Menata Ulang Vs Penegakan Hukum
            Semua kriteria, seperti tersedianya anggaran, tersedianya SDM dan Kelembagaan, dampak SOSBUD, dampak SOSEK, tersedianya IPAL/D, adanya kebijakan pemerintah, maka alternatif menata ulang kawasan merupakan prioritas utama dibandingkan dengan wajib memiliki IPAL/D dengan nilai pembobotan keseluruhan sebesar 12,56% . Hal ini terlihat jelas pada skema perbandingan antar keduanya, dimana bar (warna biru) semuanya ke arah menata ulang kawasan. Untuk lebih jelasnya perbandingan skala prioritas antara menata ulang kawasan dan penegakan hukum yang ditinjau dari setiap kriteria, dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa penentuan alternatif kegiatan untuk titik berat semua kriteria didominasi penuh oleh alternatif menata ulang kawasan.
Gambar 9.  Pembobotan antara Menata Ulang Kawasan dengan Penegakan Hukum.
Penutup
            Faktor terpenting dalam pelaksanaan pengelolaan pencemaran air di sungai cakung yang bermuara di Perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara yang merupakan prioritas pertama adalah ketersediaan anggaran pemerintah dalam pengelolaan, yakni dengan bobot 0,231. Sedangkan Aktor utama dalam mendorong keberhasilan pengelolaan pencemaran air ini adalah LSM dengan bobot 0,283. Selanjutnya berdasarkan tujuan para pelaku, maka tujuan perlindungan menjadi pilihan pertama para ahli dengan bobot 0,400.
            Alternatif Strategi kebijakan pengelolaan pencemaran air di sungai cakung yang bermuara di Perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara, berdasarkan pendapat para ahli diperoleh bahwa strategi pertama kebijakan pengelolaan pencemaran air tersebut adalah melakukan penataan ulang kawasan terutama terhadap permukiman masyarakat pesisir (nelayan) dengan bobot 0,295. Hal ini didukung juga dengan rencana pemerintah Kota Jakarta Utara yang akan membangun kawasan tersebut menjadi kawasan perikanan yang terpadu.
            Agar pengelolaan pencemaran air di kawasan tersebut berhasil dengan baik maka pelaksanaan strategi tersebut perlu dibarengi dengan alternatif lainnya, yakni kewajiban memiliki IPAL/D dan meningkatkan koordinasi antar stakeholder. Walaupun alternatif penegakan hukum jauh dari pilihan para ahli dalam pengelolaan pencemaran air, namun alternatif ini perlu juga dilakukan secara sinergi dengan alternatif lain, sehingga upaya pengelolaan dapat dilakukan secara optimal.



DAFTAR PUSTAKA

Iryanto. 2008. Eksposisi Analitical Hierarchy Process (AHP) Dalam Riset Operasi : Cara Efektif Untuk Pengambilan Keputusan. FMIPA, USU, Medan.
Marimin. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press, Bogor.
Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (GRASINDO), Jakarta.

Ditulis bersama : Hendrawati dan Yunianto Setiawan