Minggu, 18 Oktober 2015

Kemampuan Fitoremediasi Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) dalam Pengolahan Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamaei)



Abstrak. Salah satu dampak negatif kegiatan budidaya udang vaname adalah penurunan kualitas air pada sungai dan perairan pesisir yang difungsikan sebagai sumber air untuk kegiatan budidaya udang vaname dan kegiatan lainnya. Kondisi ini menyebabkan perlunya melakukan pengolahan air limbah untuk mengembalikan kualitas air. Salah satu alternatif pengolahan air limbah budidaya udang vaname adalah dengan melakukan fitoremediasi pada sistem lahan basah buatan-aliran air permukaan (FWS-CWs). Studi ini fokus pada evaluasi kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) dalam menghilangkan pencemar (NH4+, NO3- dan PO43-) yang berasal dari air limbah asal Udang Vaname (L. vannamaei). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput vetiver mampu tumbuh pada kondisi mesohaline dan dapat melakukan fitoremediasi untuk pencemar NH4+, NO3- dan PO43-. Perlakuan tanam antara emergent dan hidrophonik tidak menunjukkan kemampuan pengambilan pencemar yang berbeda nyata. Pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh semakin bertambahnya umur rumput tersebut dan tidak dipengaruhi oleh salinitas mesohaline.
Keywords: Fitoremediasi, rumput vetiver, udang vaname, mesohaline
Pendahuluan. Usaha perikanan budidaya Indonesia merupakan salah satu sektor penting dalam peningkatan produksi perikanan secara keseluruhan (MKP 2012). Tahun 2013, produksi perikanan budidaya memberikan kontribusi sebesar 68,54 % dari total produksi perikanan nasional (SI 2014). Perikanan budidaya, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan, yakni dari 5,4 % ditahun 2007 menjadi 23% ditahun 2013 (MMF 2010, SI 2014).
          Peningkatan kegiatan perikanan budidaya ini selain berdampak positif juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah terlampauinya daya dukung perairan, terganggunya kehidupan organisme air, degradasi kualitas air, eutrofikasi dan deplesi oksigen hingga menimbulkan pencemaran perairan (Riani 2014, FAO 2011, Xin et al. 2010, Boyd 2003, Naylor et al. 2000). Kualitas air yang buruk menyebabkan penyebaran berbagai penyakit udang vanname. Sebagai hasilnya, udang vanname akan jatuh sakit dan bisa menurunkan produktivitas. Sebagaimana dinyatakan oleh Riani (2015), kualitas air yang jelek menurunkan kekebalan dan penyebaran berbagai penyakit ikan.  
          Aquaculture wastewater dari kegiatan budidaya udang, menyebabkan peningkatan kadar amonia, nitrat, pospor dan bahan organik (Lananan et al, 2014;. Mook et al, 2012, Tilley et al. 2002), sehingga keadaan ini harus dikelola dengan baik jika budidaya udang ingin berkelanjutan.
          Pengembangan budidaya perikanan haruslah berkelanjutan atau dengan kata lain Aquaculture wastewater sebelum dibuang ke lingkungan harus melalui pengolahan terlebih dahulu (Lin dan Yang 2003), maka strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengolahan air sumber (water treatment), resirkulasi air dan pengolahan air limbah (wastewater treatment).
          Pengolahan Aquaculture wastewater sudah banyak dikembangkan, seperti melakukan penambahan mikroba positif untuk membantu memperbaiki kualitas air, sistem biofilter, pengolahan air limbah konvensional, resikulasi, teknologi bioflok, bioremediasi, Bio-electrochemical,  kombinasi dari beberapa metode (Mook et al. 2012, Ray 2010, Avnimelech dan Malka 2009, Schryver et al. 2008, Crab et al. 2007, Pan et al. 2007, Avnimelech 2006, True et al. 2004, Piedrahita 2003, Ridha dan Cruz 2001, Dumas et al. 1998, Twarowska et al. 1997). Namun demikian teknologi tersebut di Indonesia belum banyak diterapkan khususnya oleh pelaku budidaya ikan skala menengah dan kecil. Argumentasi yang dapat dikemukakan adalah karena umumnya teknologi tersebut memerlukan tenaga dan keahlian khusus, akan menambah biaya produksi yang signifikan dan membutuhkan perawatan khusus, sehingga teknologi ini menyulitkan bagi pelaku budidaya.
          Teknologi yang murah, mudah dan efektif dalam pengendalian Aquaculture wastewater adalah teknologi fitoremediasi. Fitoremediasi adalah istilah yang menggambarkan kemampuan tanaman untuk detoksifikasi, memulihkan atau memurnikan lingkungan, mengurangi, mentransfer, menstabilkan atau menurunkan pencemar, baik tanah maupun air (Ojoawo et al. 2015, Dana 2014, Wang et al. 2010, Willey 2007, Eapen dan D’souza 2005, Schroder 2002). fitoremediasi tidak hanya inovatif tapi juga aplikatif, ramah lingkungan dan ekonomis (Wang et al. 2010, Zhang et al. 2007, Eapen dan D’souza 2005, Ash and Truong 2003).
          Truong dan Hart (2001) penghilangan unsur-unsur N dan P dalam pencemaran air oleh vegetasi (fitoremediasi) adalah paling efektif, biaya murah dan ramah lingkungan. Selanjutnya Ash and Truong (2003), produk akhir fitoremediasi memiliki beberapa penggunaan termasuk pakan hewan dan bahan untuk pertanian organik.
          Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) dalam menghilangkan pencemar (NH4+, NO3- dan PO43-) yang berasal dari vannamei shrimp (L. vannamaei) Aquaculture wastewater.
          Rumput vetiver (C. zizanioides, L) digunakan dalam fitoremediasi karena vetiver mempunyai kemampuan hidup dengan cakupan kondisi yang sangat beragam dan luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) serta perairan bersalinitas. Vetiver juga memiliki persen pengurangan yang tinggi (% high removal) untuk N dan P dari pencemar air organik (Wastewater), % high removal COD, N, dan P pada leachate yang berasal dari sampah organik (Danh et al. 2013, Truong et al. 2008; Truong dan  Loch 2004; Vimala dan Kataria 2004; Truong dan Hart 2001).
          Studi kasus budidaya Udang vaname yang berkelanjutan dengan melakukan pengolahan air limbah dengan kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) disajikan sebagai alternatif solusi aquaculture wastewater treatment.
Bahan dan Metoda. Penelitian lapangan dilaksanakan di Balai layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang tepatnya berada Di Dusun Sukajadi, Desa Pusakajaya utara, Kecamatan Cilebar Kabupaten Karawang. Analisis laboratorium dilaksanakan di Laboratorium BLUPPB Karawang dan Laboratorium Tanah Faperta IPB Bogor.
          Bahan yang digunakan untuk media lahan basah berupa pasir kasar (sirtu), koral dan styrofoam. Tanaman yang digunakan adalah rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L). Rumput vetiver ditanam pada FWS-CWs dengan sistem aliran air permukaan (FWS-CWs), masing-masing terdiri dari 36 rumpun (total 288 rumpun).
          Penelitian dilakukan dengan 2 perlakuan, yakni rumput vetiver ditanam secara Emergent (E), dan Hidroponik (H). Ukuran FWS-CWS adalah 2 m x 1 m x 0,5 m, berupa bak berlapis plastik vynil dari spanduk bekas dengan konstruksi bambu.
          Air limbah yang digunakan untuk penelitian berasal dari kegiatan budidaya udang vaname (L.vannamaei) dengan padat tebar 100 ekor/m2. Umur tebar udang (benur) adalah post larva 10 hari (PL-10).
          Polutan utama air limbah berasal dari sisa pakan dan feses selama kegiatan pemeliharaan udang vaname. Pakan yang diberikan selama penelitian memiliki komposisi protein 42%, serat kasar 3%, lemak 6%, kadar air 12%, dan abu 13%.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan, dan diatur pada taraf waktu tinggal (t) atau hydraulic retention time (HRT) tiga hari dengan debit air limbah (aquaculture effluents) rata-rata adalah 0,65 L/menit atau 233,33 L/hari.
          Penentuan NO3- dan NH4+ dilakukan dengan metoda titrimetric dan PO43- dilakukan dengan metoda spectrofotometric dengan panjang gelombang 666 nm (APHA et al. 1995).
          Pengukuran kemampuan pengambilan NO3-, NH4+ dan PO43- oleh tanaman dihitung dengan menghitung Loading of Wastewater dari NO3-,  NH4+ dan PO43- (LoW):
LoW (mg/hari) = Qwastewater (L/hari) x Cwastewater (mg/L)                                            (1)
Keterangan: Qwastewater = debit air limbah dalam L/hari; Cwastewater = Konsentrasi air limbah untuk NO3-,  NH4+ dan PO43- dalam mg/L.
Selanjutnya LoW digunakan untuk menghitung Vetiver Uptake (VU):
VU (mg/hari) = LoW (mg/hari) x %vs                                                                 (2)
Keterangan: %vs = prosentase kemampuan pengambilan rumput vetiver.
Analisis regressi dan korelasi dilakuan terhadap data hasil percobaan untuk mengetahui apakah dua perlakuan memiliki perbedaan dalam mengambil  NO3-,  NH4+ dan PO43-, maka seluruh data hasil penelitian diolah lebih lanjut dengan menggunakan software MS-Excel.
Hasil dan Pembahasan
Performa Rumput Vetiver (C. zizanioides, L) dalam Kondisi Mesohaline. Kemampuan fitoremediasi air limbah asal budidaya udang vaname oleh rumput vetiver yang ditanam di dalam sistem FWS-CWs ditunjukkan dengan mampu tidaknya rumput vetiver tumbuh (bertambah tunas dan tinggi) dan mengambil pencemar pada kondisi mesohaline (5 – 15 o/oo).
          Pertumbuhan rumput vetiver diukur dengan melihat pertambahan jumlah rumpun/tunas dan tinggi rumput. Pengamatan untuk rumput vetiver dilakukan pada umur 14, 31, 41, 49, 69, 78, 89 dan 95 hari (pengamatan mulai tanggal 11 April 2013 s/d 1 Juli 2013).
          Selama penelitian beban bahan pencemar rata-rata untuk NH4+, NO3-, dan PO43- adalah 0,07, 5,54 dan 2,94 gram/hari.
          Performa pertumbuhan rumput vetiver sangat baik dalam kondisi nutrien yang tinggi (Gambar 1a, 2a dan Tabel 2).  
Pertambahan Jumlah Tunas. Hasil pengamatan selama periode tersebut menunjukkan bahwa selama penelitian terjadi pertumbuhan karena diindikasikan dengan bertambahnya jumlah tunas rumput vetiver. Hasil analisis regresi berganda dan korelasi terlihat bahwa pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh umur rumput vetiver. Umur menentukan pertumbuhan, karena Pvalue umur = 0,000. Salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan (P value salinitas = 0,275). Model regresi berganda yang diperoleh adalah Pertumbuhan (Jumlah Tunas) = 0,279 Umur – 0,274 Salinitas – 0,241.
          Umur mempunyai hubungan yang kuat dengan bertambahnya jumlah tunas, dengan R=0,979. Sedangkan salinitas ternyata tidak memiliki hubungan yang erat (hubungan antara pertumbuhan rumput vetiver dengan tingkat salinitas mesohaline sangat kecil, yakni R=0,355) atau dengan kata lain salinitas tidak mempengaruhi pertambahan jumlah tunas. Ini berarti bahwa rumput vetiver toleransi terhadap keberadaan salinitas mesohaline.
          Gambar 1a menunjukkan hubungan antara umur dengan jumlah tunas, terlihat bahwa jumlah tunas bertambah karena umur bertambah. Ini berarti bahwa pertambahan jumlah tunas sangat dipengaruhi oleh umur rumput vetiver dengan model linier: Y = 3,13X + 0,45 dan R2 = 0,96.
Gambar 1 Pola pertambahan jumlah tunas (a) Hubungan Jumlah tunas dan salinitas terhadap umur rumput vetiver (b)
            Gambar 1b merupakan hasil pengamatan pertambahan jumlah rata-rata tunas rumput vetiver mulai umur 14 hingga 95 hari. Pertambahan jumlah tunas rata-rata per hari berkisar antara 1 – 7 tunas (rata-rata 2,73≈3). Pertambahan jumlah tunas ini mengikuti grafik kuadratik, yakni dengan puncak tertinggi terjadi pada pengamatan umur 69 hari.
Pertambahan Tinggi Tanaman. Bertambahnya tinggi tanaman selama penelitian diukur sebagai indikator adanya pertumbuhan. Pertambahan tinggi tanaman rumput vetiver diukur setiap sepuluh hari sekali. Tinggi rata-rata tanaman diawal penanaman adalah 20 cm dan pada akhir penelitian, tinggi rumput vetiver mencapai 89 cm. Ini berarti terjadi pertumbuhan sebesar 4,5 kali lipat selama 3,2 bulan.
          Hasil analisis regresi berganda dan korelasi untuk penambahan tinggi tanaman terlihat bahwa pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh bertambahnya umur. Umur menentukan pertambahan tinggi tanaman, karena P value umur 0,028. Sedangkan salinitas ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan karena P value salinitas (0,317). Model regresi berganda yang diperoleh adalah pertambahan tinggi tanaman = 0,282 Umur + 0,945 Salinitas + 56,445.
          Umur mempunyai hubungan yang kuat dengan bertambahnya tinggi rumput vetiver, yakni dengan R=0,849. Sedangkan untuk salinitas ternyata tidak memiliki hubungan yang erat (hubungan antara pertambahan tinggi rumput vetiver dengan tingkat salinitas mesohaline, yakni R=0,599) atau dengan kata lain bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh signifikan. Ini berarti bahwa rumput vetiver masih mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas mesohaline.
          Gambar 2a menunjukkan hubungan antara umur dengan pertambahan tinggi tanaman, terlihat bahwa tinggi tanaman bertambah karena bertambahnya umur tanaman. Ini berarti bahwa pertambahan tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh umur rumput vetiver dengan model polinomial orthogonal orde tiga: Y = 0,36X3 – 5,68X2+ 30,69X + 24,23 dan R2 = 0,97. hasil analisis piktorial ini terungkap bahwa umur merupakan salah satu faktor kunci dalam menetukan pertumbuhan rumput vetiver dalam sistem lahan basah buatan untuk menyisihkan konstituen limbah organik asal udang vaname. Hubungan polynomial pada orde tiga mencerminkan bahwa sebetulnya masih ada faktor-faktor kimia fisika biologi lain yang berperan dan perlu untuk diamati.
(a)                                                    (b)
Gambar 2 Pola pertambahan tinggi rumput vetiver (a) Hubungan Tinggi rumput vetiver dan salinitas terhadap umur (b)    
          Gambar 2b merupakan hasil pengamatan penmbahan tinggi rumput vetiver mulai umur 14 hingga 95 hari. Pertambahan tinggi tanaman selama 95 hari mencapai 69 cm atau pertumbuhan rata-rata rumput vetiver adalah 0,73 cm/hari.
Pengambilan Pencemar oleh Rumput Vetiver (C. zizanioides, L). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa P value > 0.05, yakni 0,915 (NO3-), 0,879 (NH4+), dan 0,861 (PO43-) maka dari dua perlakuan penanaman rumput vetiver antara emergent dan hidroponik baik untuk NH4+, NO3- dan PO43-, ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang nyata atau dengan kata lain bahwa baik rumput vetiver yang ditanam secara emergent maupun hidroponik mempunyai kemampuan yang sama dalam pengambilan pencemar tersebut.
          Tanaman memainkan peran yang sangat penting dalam FWS-CWs. Mereka menaungi kolom air, memberikan ruang untuk pertumbuhan biofilm, dan bantuan daur hara dan karbon organik (Kadlec dan Wallace 2009, Lin et al. 2002).
          Pengambilan (uptake) pencemar oleh vegetasi merupakan proses utama dari proses biotik dalam sistem ini (Lin et al. 2002). Tanaman memainkan berbagai peran di LBB untuk pengolahan air limbah. Peran tersebut mencakup peran fisik dari tanaman sendiri berupa sedimentasi, pengendalian erosi dan menyediakan luas permukaan untuk pertumbuhan mikroba (biofilm), sehingga meningkatkan proses penyisihan oleh mikroba termasuk nitrifikasi dan denitrifikasi. Rumput vetiver memiliki akar yang panjang bisa mencapai 3,6 m dan dengan sistem akar sangat halus berdiameter rata-rata 0.5 - 1.0 mm (Truong et al. 2008, Cheng et al, 2003). Tanaman yang memiliki akar yang bercabang-cabang halus, permukaan akarnya digunakan oleh mikroorganisme sebagai tempat pertumbuhan (Tosepu 2012). Tumbuhan juga memiliki peran metabolisme dalam pengolahan air limbah dengan potensi untuk melepaskan O2 ke dalam rizosfir untuk membantu nitrifikasi dan dengan penyerapan langsung nutrisi (Greenway dan Woolley 2001; Brix 1997).
          FWS-CWs dan fitoremediasi rumput vetiver memiliki kemampuan penghilangan yang baik untuk nitrogen (NH4+ dan NO3-) dan rendah untuk fosfor oleh sistem (41 %, 93 % dan 9 %, Tabel 1), dimana kemampuan fitoremediasi rumput vetiver dalam penghilangan NH4+ dan NO3- adalah 62 % dan 36 % serta penghilangan fosfor sebesar 49 %.
Tabel 1 Elimination rates by FWS-CWs and Vetiver grass

NH4+
NO3-
PO43-
Influent (g/day)
4.60
6.16
2.73
Effluent (g/day)
2.39
1.91
2.30
Elimination by sistem (g/day)
2.21
4.25
0.44
Elimination by plant uptake (g/day)
1.36
1.53
0.21
Efficiency CWs (%)
48
69
16
Efficiency by plant uptake (%)
62
36
49

          Dinamika pencemar (NH4+, NO3-, PO43-) memberikan performa kemampuan penghilangan pencemar oleh sistem dan serapan tanaman (Gambar 3). Performa penghilangan pencemar NH4+, NO3-, PO43- oleh serapan rata-rata rumput vetiver (C. zizanioides, L) baik di akar maupun di daun, berturut-turut adalah 62 %, 36 % dan 49 %. Ini menunjukkan bahwa rumput vetiver berkontribusi terhadap penghilangan pencemar dalam sistem FWS-CWS. Sehingga untuk meningkatkan serapan pencemar tersebut bisa dilakukan dengan menambah populasi dari tanaman rumput vetiver. Kennedy dan Murphy (2004), peningkatan kerapatan tanaman mempengaruhi penurunan konsentrasi nitrogen.
          Serapan NH4+ oleh rumput vetiver lebih tinggi dibandingkan dengan NO3-, karena rumput vetiver lebih memilih sumber nitrogen dari NH4+ dibanding NO3-. Menurut Garnett (2001), berbagai jenis tumbuhan berbeda dalam bentuk sumber N yang disukai untuk diserap, tergantung pada sumber yang tersedia di lahan basah. Sedangkan Fang et al. (2007), tanaman mengambil nitrogen oleh akar dan daun. Jika kedua sumber N yang tersedia, maka tanaman lebih memilih untuk mengambil NH4+.
          Rumput vetiver menjadi pilihan dalam melakukan penghilangan pencemar nitrogen dan phospat dalam air limbah budidaya udang vaname. Hasil penelitian, rumput vetiver memiliki toleransi yang baik pada kondisi bersalinitas mesohaline dan kaya nutrien. Danh et al. (2013), rumput vetiver memiliki kemampuan mengambil dan meningkatkan biodegradasi limbah organik, sehingga berpotensi sebagai tanaman fitoremediasi. Potensi rumput vetiver tersebut karena produksi biomassa yang tinggi, tingkat pertumbuhan yang cepat, tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan potensi akumulasi.
 
Gambar 3. Perbandingan inflow dan outflow (a) Tingkat eliminasi CWs dan rumput vetiver (b)
Kesimpulan. Rumput vetiver mampu tumbuh dan melakukan fitoremediasi pada kondisi mesohaline (bersalinitas < 15 o/oo). Fitoremediasi menggunakan tanaman rumput vetiver bisa diterapkan untuk melakukan pengolahan limbah budidaya udang vaname (aquaculture wastewater), terutama untuk menurunkan konsentrasi nitrogen dalam tambak bersalinitas mesohaline. Rumput vetiver (C. zizanioides, L) lebih memilih sumber nitrogen dari NH4+ dibandingkan dengan NO3-. Teknologi ini mempunyai kelebihan, yakni merupakan teknologi hijau dan ramah lingkungan dalam pengolahan air limbah serta merupakan metode daur ulang yang alami. Produk akhirnya dapat dimanfaatkan, misalnya sebagai pakan ternak dan bahan untuk pertanian organik.

Daftar Pustaka
[APHA] American Public Health Association; American Water Works Association; Water Environment Federation, 1995. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 18th ed.; American Public Health Association: Washington,
D.C.Ash, R., Truong, P., 2003. The use of Vetiver grass wetland for sewerage treatment in Australia. Proc. Third International Vetiver Conf. China, October 2003.
Avnimelech Y., Malka K., 2009. Evaluation of nitrogen uptake and excretion by tilapia in bio floc tanks, using 15N tracing. Aquaculture 287: 163–168.
Avnimelech Y., 2006. Bio-filters: The need for an new comprehensive approach. Aquacultural Engineering 34: 172–178.
Boyd C. E., 2003. Guidelines for aquaculture effluent management at the farm-level. Aquaculture 226: 101–112.
[SI] Statistics Indonesia, 2014 Indonesian Fishery Statistics 2014. Statistics Indonesia, Jakarta-Indonesia.
Brix, H. 1997. Do macrophytes play a role in constructed treatment wetlands? Water Science and Technology 35(5): 11-17.
Cheng Hong, Xiaojie Yang, Aiping Liu, Hengsheng Fu, Ming Wan, 2003. A Study on the Performance and Mechanism of Soil-reinforcement by Herb Root System. Proc. Third International Vetiver Conf. China, October 2003.
Crab  R., Avnimelech Y., Defoirdt T., Bossier P., Verstraete W., 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270: 1–14.
Dana, A. M., 2014. Phytoremediation as an Alternative Method to Remove Lead and Cadmium from Wastewater Using Some Aquatic Plants. European International Journal of Science and Technology 3 (4): 1-6.
Danh, L. T., Truong, P., Mammucari, R., Tran T., Foster, N., 2013. Vetiver Grass, Vetiveria Zizanioides: A Choice Plant For Phytoremediation Of Heavy Metals And Organic Wastes. International Journal of Phytoremediation, 11:664–691.
Dumas A., Laliberte G., Lessard P., de la Noue J., 1998. Biotreatment of fish farm effluents using the cyanobacterium Phormidium bohneri. Aquacultural Engineering 17: 57-68.
Schryver, P D, Crab, R, Defoirdt, T, Boon N, Verstraete, W. 2008. The basics of bio-flocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125–137.
Eapen, S., D’Souza S. F., 2005. Prospects of genetic engineering of plants for phytoremediation of toxic metals. Biotechnology Advances 23: 97– 114.
Food And Agriculture Organization Of The United Nations (FAO), 2011. World aquaculture 2010. FAO Fisheries And Aquaculture Technical Paper 500/1, Rome, Itally.

Fang Y., Babourina O., Rengel Z., Yang X. dan Pu P.M., 2007. Ammonium and Nitrate Uptake by The Floating Plant Landoltia Punctata. Annals of Botany, 99(2): 365–370.
Kadlec R.H. dan  Wallace S.D., 2009. Treatment Wetlands Second Edition. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Kennedy, M.P. dan Murphy, K.J. 2004. Indicators Of Nitrate In Wetland Surface And Soil-Water: Interactions Of Vegetation And Environmental Factors. Hydrology and earth system Sciences, 8(4), 663-672.
Lananan, F., Abdul Hamid, S.H., Din, W. N. S., Ali, N. A., Khatoon, H., Jusoh, A., Endut, A., 2014. Symbiotic bioremediation of aquaculture wastewater in reducing ammonia and phosphorus utilizing Effective Microorganism (EM-1) and microalgae (Chlorella sp.). International Biodeterioration & Biodegradation, 95, Part A(0), 127-134.
Lin C K, Yi Yang, 2003. Minimizing environmental impacts of freshwater aquaculture and reuse of pond effluents and mud. Aquaculture 226: 57–68.
Lin Y-F., Jing  Sh-R., Lee  D-Y. dan Wang, T-W., 2002. Nutrient removal from aquaculture wastewater using a constructed wetlands system. Aquaculture, 209,169–184.
[MKP] Majalah Kelautan dan Perikanan, 2012. Majalah Mina Bahari (Pengawal Industrialisasi Kelautan dan Perikanan) Edisi Mei 2012. Pusat Data, Statistik dan Informasi (PUSDATIN), Sekjend Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

[MMF] Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, 2010 Strategic Plan Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia 2010-2014. Jakarta.

Mook, W. T., Chakrabarti, M. H., Aroua, M. K., Khan, G. M. A., Ali, B. S., Islam, M.S., Abu Hassan, M. A., 2012. Removal of total ammonia nitrogen (TAN), nitrate and total organic carbon (TOC) from aquaculture wastewater using electrochemical technology: A review. Desalination, 285: 1-13.
Naylor, R L, Goldburg, R J, Primavera, J H, Kautsky, N, Beveridge, M C M, Clay, J, Folke, C, Lubchenco, J, Mooney, H, Troell, M., 2000. Effect of aquaculture on world fish supplies. Nature 405, 1017– 1024.
Ojoawo, S.O., Udayakumar, G.  and Naik, P., 2015. Phytoremediation of Phosphorus and nitrogen with Canna x generalis Reeds in Domestic Wastewater through NMAMIT Constructed Wetland. Aquatic Procedia 4: 349 – 356.
Pan, J., Sun H., Nduwimana A., Wang Y., Zhou G., Ying Y. dan Zhang R., 2007. Hydroponic plate/fabric/grass system for treatment of aquacultural wastewater. Aquacultural Engineering, 37(3), pp.266–273.
Piedrahita  R. H., 2003. Reducing the potential environmental impact of tank aquaculture effluents through intensification and recirculation. Aquaculture 226: 35–44.
Ray A.J., Lewis B.L., Browdy C.L. dan Leffler J.W., 2010. Suspended Solids Removal to Improve Shrimp (Litopenaeus vannamei) Production and an Evaluation of a Plant-Based Feed in Minimal-Exchange, Superintensive Culture Systems. Aquaculture, 299:  89–98.
Riani, E., (2015). The Effect of Heavy Metals on Tissue Damage in Different Organs of Goldfish Cultivated in Floating Fish Net in Cirata Reservoir, Indonesia. Paripex-Indian Journal Of Research 4 (2): 54-58.
Riani, E., Sudarso, Y., Cordova, M. R., (2014). Heavy metals effect on unviable larvae of Dicrotendipes simpsoni (Diptera: Chironomidae), a case study from Saguling Dam, Indonesia. AACL Bioflux 7 (2): 76-84.
Ridha, M. T. dan Cruz, E. M., 2001. Effect of biofilter media on water quality and biological performance of the Nile tilapia Oreochromis niloticus L. reared in a simple recirculating system. Aquacultural Engineering 24: 157–166.
Schroder, P. S., Harvey, P. J., Schwitzguebel, J-P., 2002. Prospects for the Phytoremediation of Organic Pollutants in Europe. ESPR-Environ Sci & Pollut Res 9 (1): 1-3.
Schryver P.D., Crab R., Defoirdt T., Boon N. dan Verstraete W., 2008. The basics of bio-flocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture, 277: 125–137.
Tilley, D R., Harish B, Ronald R, Jiho S., 2002.  Constructed wetlands as recirculation filters in large-scale shrimp aquaculture. Aquacultural Engineering 26: 81–109.
Tosepu R., 2012. Laju Penurunan Logam Berat Plumbum (Pb) Dan Cadmium (Cd) Oleh Eichornia Crassipes dan Cyperus Papyrus. J. Manusia Dan Lingkungan, Vol. 19, No.1: 37–45.
True, B., Johnson, W., Chen, S., 2004. Reducing phosphorus discharge from flow-through aquaculture III: assessing high-rate filtration media for effluent solids and phosphorus removal. Aquacultural Engineering 32: 161–170.
Truong, P, Van, T T, Pinners, E., 2008. The Vetiver System for Prevention And Treatment Of Contaminated Water And Land. TVN-series2-2pollution.htm.
Truong, P, Hart B., 2001. Vetiver System for Wastewater Treatment. Technical Bulletin no. 2001/21. Pacific Rim Vetiver Network. Office of the Royal Development Projects Board, Bangkok, Thailand.
Truong, P., Loch R., 2004. Vetiver System For Erosion And Sediment Control. ISCO 2004 - 13th International Soil Conservation Organisation Conference – Brisbane, Australia.
Twarowska, J. G.,  Westerman, P. W., Losordo, T. M., 1997. Water treatment and waste characterization evaluation of an intensive recirculating fish production system.  Aquacultural Engineering 16: IX-147.
Vimala, Y., dan Kataria, S. K., 2004. Physico-Chemical Study of Vetiver in Wetland Soil Reclamation. Dept of Botany, CCS University, Meerut, UP, India.

Wang, L. K., Tay, J-H, Tay, T-L, Hung, Y-T., 2010. Environmental Bioengineering. Volume 11 Handbook Of Environmental Engineering. Humana Press, Springer New York.
Willey, Neil, 2007. Phytoremediation, Methods and Review. Humana Press Inc. New Jersey.
Xin, L., Hong-ying, H., Ke, G., Ying-xue, S., 2010. Effects of different nitrogen and phosphorus concentrations on the growth, nutrient uptake, and lipid accumulation of a freshwater microalga Scenedesmus sp. Bioresource Technology, 101(14), 5494-5500.
Zhang, Xiao-Bin, Liu, Peng, Yang, Yue-Suo, Chen, Wen-Ren, 2007.  Phytoremediation of urban wastewater by model wetlands with ornamental hydrophytes. Journal of Environmental Sciences 19: 902–909. 

Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal internasional terindeks scopus, AACL Bioflux journal : http://www.bioflux.com.ro/home/volume-8-5-2015/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar