Abstrak. Salah satu dampak negatif kegiatan budidaya udang
vaname adalah penurunan
kualitas air pada sungai dan perairan pesisir yang difungsikan sebagai sumber
air untuk kegiatan budidaya udang vaname dan kegiatan lainnya. Kondisi ini
menyebabkan perlunya melakukan pengolahan air limbah untuk mengembalikan
kualitas air. Salah satu alternatif pengolahan air limbah budidaya udang vaname
adalah dengan melakukan fitoremediasi pada sistem lahan basah buatan-aliran air
permukaan (FWS-CWs). Studi ini fokus pada
evaluasi kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) dalam menghilangkan pencemar (NH4+,
NO3- dan PO43-) yang berasal dari air limbah asal Udang Vaname (L. vannamaei). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput vetiver mampu tumbuh pada
kondisi mesohaline dan dapat melakukan fitoremediasi untuk pencemar NH4+,
NO3- dan PO43-. Perlakuan tanam antara emergent dan hidrophonik
tidak menunjukkan kemampuan pengambilan pencemar yang berbeda nyata. Pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh semakin bertambahnya
umur rumput tersebut dan tidak dipengaruhi oleh salinitas mesohaline.
Keywords: Fitoremediasi, rumput vetiver, udang vaname,
mesohaline
Pendahuluan. Usaha perikanan budidaya Indonesia merupakan salah
satu sektor penting dalam peningkatan produksi perikanan secara keseluruhan
(MKP 2012). Tahun 2013, produksi perikanan budidaya memberikan kontribusi
sebesar 68,54 % dari total produksi perikanan nasional (SI 2014). Perikanan budidaya, dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang signifikan, yakni dari 5,4 % ditahun 2007 menjadi 23% ditahun
2013 (MMF 2010, SI 2014).
Peningkatan
kegiatan perikanan budidaya ini selain berdampak positif juga memberikan dampak
negatif. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah terlampauinya daya dukung
perairan, terganggunya kehidupan organisme air, degradasi kualitas
air, eutrofikasi dan deplesi oksigen hingga
menimbulkan pencemaran perairan (Riani 2014, FAO 2011, Xin et al.
2010,
Boyd 2003, Naylor et al. 2000). Kualitas air yang buruk menyebabkan
penyebaran berbagai penyakit udang vanname. Sebagai hasilnya,
udang vanname akan jatuh sakit dan bisa menurunkan produktivitas.
Sebagaimana dinyatakan oleh Riani
(2015), kualitas air yang jelek menurunkan kekebalan dan penyebaran berbagai penyakit ikan.
Aquaculture wastewater dari kegiatan budidaya udang, menyebabkan peningkatan kadar amonia, nitrat, pospor dan bahan organik (Lananan et al, 2014;. Mook et al, 2012, Tilley et al. 2002), sehingga keadaan ini harus
dikelola dengan baik jika budidaya udang ingin berkelanjutan.
Pengembangan
budidaya perikanan haruslah berkelanjutan atau dengan kata lain Aquaculture wastewater sebelum dibuang
ke lingkungan harus melalui pengolahan terlebih dahulu (Lin dan Yang 2003),
maka strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pengolahan air sumber (water
treatment), resirkulasi air dan pengolahan air limbah (wastewater treatment).
Pengolahan
Aquaculture wastewater sudah banyak
dikembangkan, seperti melakukan penambahan mikroba positif untuk membantu
memperbaiki kualitas air, sistem biofilter, pengolahan air limbah konvensional,
resikulasi, teknologi bioflok, bioremediasi, Bio-electrochemical, kombinasi
dari beberapa metode (Mook et al. 2012, Ray 2010, Avnimelech dan Malka 2009, Schryver et al. 2008, Crab et al. 2007, Pan et al.
2007, Avnimelech 2006, True et al. 2004, Piedrahita 2003, Ridha dan
Cruz 2001, Dumas et al. 1998,
Twarowska et al. 1997). Namun demikian
teknologi tersebut di Indonesia belum banyak diterapkan khususnya oleh pelaku
budidaya ikan skala menengah dan kecil. Argumentasi yang dapat dikemukakan
adalah karena umumnya teknologi tersebut memerlukan tenaga dan keahlian khusus,
akan menambah biaya produksi yang signifikan dan membutuhkan perawatan khusus,
sehingga teknologi ini menyulitkan bagi pelaku budidaya.
Teknologi
yang murah, mudah dan efektif dalam pengendalian Aquaculture wastewater adalah teknologi fitoremediasi. Fitoremediasi
adalah istilah yang menggambarkan kemampuan tanaman untuk detoksifikasi,
memulihkan atau memurnikan lingkungan, mengurangi, mentransfer,
menstabilkan atau menurunkan pencemar, baik tanah maupun air (Ojoawo et
al. 2015, Dana 2014, Wang et al. 2010, Willey 2007, Eapen
dan D’souza 2005, Schroder 2002). fitoremediasi tidak hanya inovatif
tapi juga aplikatif, ramah lingkungan dan ekonomis (Wang et al. 2010, Zhang et al.
2007, Eapen dan D’souza 2005, Ash and Truong 2003).
Truong
dan Hart (2001) penghilangan unsur-unsur N dan P dalam pencemaran
air oleh vegetasi (fitoremediasi) adalah paling efektif, biaya murah dan ramah
lingkungan. Selanjutnya Ash and Truong
(2003), produk akhir fitoremediasi memiliki beberapa penggunaan termasuk
pakan hewan dan bahan untuk pertanian organik.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menyelidiki kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) dalam
menghilangkan pencemar (NH4+, NO3-
dan PO43-) yang berasal dari vannamei shrimp (L. vannamaei) Aquaculture wastewater.
Rumput
vetiver (C. zizanioides, L) digunakan
dalam fitoremediasi karena vetiver mempunyai kemampuan hidup dengan cakupan
kondisi yang sangat beragam dan luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan
kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) serta perairan bersalinitas. Vetiver
juga memiliki persen pengurangan yang tinggi (% high removal) untuk N dan P dari pencemar air organik (Wastewater), % high removal COD, N, dan P pada leachate yang berasal dari sampah
organik (Danh et al. 2013, Truong et al. 2008; Truong
dan Loch 2004; Vimala dan Kataria 2004; Truong dan Hart
2001).
Studi kasus budidaya Udang vaname yang
berkelanjutan dengan melakukan pengolahan air limbah dengan kemampuan
fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L) disajikan
sebagai alternatif solusi aquaculture wastewater
treatment.
Bahan dan Metoda. Penelitian lapangan dilaksanakan
di Balai layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang tepatnya
berada Di Dusun Sukajadi, Desa Pusakajaya utara, Kecamatan Cilebar Kabupaten
Karawang. Analisis laboratorium dilaksanakan di Laboratorium BLUPPB Karawang
dan Laboratorium Tanah Faperta IPB Bogor.
Bahan yang digunakan untuk media lahan basah berupa pasir
kasar (sirtu), koral dan styrofoam. Tanaman yang digunakan adalah rumput
vetiver (Chrysopogon zizanioides, L). Rumput vetiver ditanam pada FWS-CWs dengan sistem aliran air permukaan
(FWS-CWs), masing-masing terdiri dari 36 rumpun (total 288 rumpun).
Penelitian
dilakukan dengan 2 perlakuan, yakni rumput vetiver ditanam secara Emergent (E),
dan Hidroponik (H). Ukuran FWS-CWS adalah 2 m x 1 m x 0,5 m, berupa bak
berlapis plastik vynil dari spanduk bekas dengan konstruksi bambu.
Air
limbah yang digunakan untuk penelitian berasal dari kegiatan budidaya udang
vaname (L.vannamaei) dengan padat tebar 100 ekor/m2. Umur tebar udang
(benur) adalah post larva 10 hari (PL-10).
Polutan
utama air limbah berasal dari sisa pakan dan feses selama kegiatan pemeliharaan
udang vaname. Pakan yang diberikan selama penelitian memiliki komposisi protein
42%, serat kasar 3%, lemak 6%, kadar air 12%, dan abu 13%.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan,
dan diatur pada taraf waktu tinggal (t) atau hydraulic retention time (HRT) tiga hari dengan debit air limbah (aquaculture effluents) rata-rata adalah
0,65 L/menit atau 233,33 L/hari.
Penentuan
NO3- dan NH4+ dilakukan dengan metoda titrimetric
dan
PO43- dilakukan
dengan metoda spectrofotometric dengan panjang gelombang 666 nm (APHA et al. 1995).
Pengukuran
kemampuan pengambilan NO3-, NH4+
dan PO43- oleh
tanaman dihitung dengan menghitung Loading of Wastewater dari NO3-,
NH4+
dan PO43- (LoW):
LoW (mg/hari) = Qwastewater
(L/hari) x Cwastewater (mg/L)
(1)
Keterangan: Qwastewater =
debit air limbah dalam L/hari; Cwastewater = Konsentrasi air limbah
untuk NO3-, NH4+
dan PO43- dalam mg/L.
Selanjutnya LoW digunakan untuk
menghitung Vetiver Uptake (VU):
VU (mg/hari) = LoW (mg/hari) x %vs
(2)
Keterangan: %vs = prosentase kemampuan
pengambilan rumput vetiver.
Analisis regressi dan korelasi dilakuan terhadap data hasil
percobaan untuk mengetahui apakah dua perlakuan memiliki perbedaan dalam
mengambil NO3-, NH4+
dan PO43-, maka
seluruh data hasil penelitian diolah lebih lanjut dengan menggunakan software MS-Excel.
Hasil dan Pembahasan
Performa Rumput Vetiver (C.
zizanioides, L) dalam Kondisi Mesohaline. Kemampuan fitoremediasi air limbah asal budidaya
udang vaname oleh rumput vetiver yang ditanam di dalam sistem FWS-CWs ditunjukkan
dengan mampu tidaknya rumput
vetiver tumbuh (bertambah tunas dan tinggi) dan
mengambil pencemar pada kondisi mesohaline
(5 – 15 o/oo).
Pertumbuhan
rumput vetiver diukur dengan melihat pertambahan jumlah rumpun/tunas dan tinggi
rumput. Pengamatan untuk rumput vetiver dilakukan pada umur 14, 31, 41, 49, 69,
78, 89 dan 95 hari (pengamatan mulai tanggal 11 April 2013 s/d 1 Juli 2013).
Selama
penelitian beban bahan pencemar rata-rata untuk NH4+, NO3-,
dan PO43- adalah 0,07, 5,54 dan 2,94 gram/hari.
Performa
pertumbuhan rumput vetiver sangat baik dalam kondisi nutrien yang tinggi
(Gambar 1a, 2a dan Tabel 2).
Pertambahan Jumlah Tunas. Hasil
pengamatan selama periode tersebut menunjukkan bahwa selama penelitian terjadi
pertumbuhan karena diindikasikan dengan bertambahnya jumlah tunas rumput
vetiver. Hasil analisis regresi berganda dan korelasi terlihat bahwa
pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh umur rumput vetiver. Umur
menentukan pertumbuhan, karena Pvalue umur = 0,000. Salinitas tidak berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan (P value salinitas = 0,275). Model regresi berganda
yang diperoleh adalah Pertumbuhan (Jumlah Tunas) = 0,279 Umur – 0,274 Salinitas
– 0,241.
Umur
mempunyai hubungan yang kuat dengan bertambahnya jumlah tunas, dengan R=0,979.
Sedangkan salinitas ternyata tidak memiliki hubungan yang erat (hubungan antara
pertumbuhan rumput vetiver dengan tingkat salinitas mesohaline sangat kecil,
yakni R=0,355) atau dengan kata lain salinitas tidak mempengaruhi pertambahan
jumlah tunas. Ini berarti bahwa rumput vetiver toleransi terhadap keberadaan
salinitas mesohaline.
Gambar
1a menunjukkan hubungan antara umur dengan jumlah tunas, terlihat bahwa jumlah
tunas bertambah karena umur bertambah. Ini berarti bahwa pertambahan jumlah
tunas sangat dipengaruhi oleh umur rumput vetiver dengan model linier: Y = 3,13X + 0,45 dan R2 =
0,96.
Gambar 1 Pola
pertambahan jumlah tunas (a) Hubungan Jumlah tunas dan salinitas terhadap umur
rumput vetiver (b)
Gambar
1b merupakan hasil pengamatan pertambahan jumlah rata-rata tunas rumput vetiver
mulai umur 14 hingga 95 hari. Pertambahan jumlah tunas rata-rata per hari
berkisar antara 1 – 7 tunas (rata-rata 2,73≈3). Pertambahan jumlah tunas ini
mengikuti grafik kuadratik, yakni dengan puncak tertinggi terjadi pada
pengamatan umur 69 hari.
Pertambahan Tinggi Tanaman. Bertambahnya tinggi tanaman selama penelitian diukur sebagai
indikator adanya pertumbuhan. Pertambahan tinggi tanaman rumput vetiver diukur
setiap sepuluh hari sekali. Tinggi rata-rata tanaman diawal penanaman adalah 20
cm dan pada akhir penelitian, tinggi rumput vetiver mencapai 89 cm. Ini berarti
terjadi pertumbuhan sebesar 4,5 kali lipat selama 3,2 bulan.
Hasil
analisis regresi berganda dan korelasi untuk penambahan tinggi tanaman terlihat
bahwa pertumbuhan rumput vetiver lebih ditentukan oleh bertambahnya umur. Umur menentukan
pertambahan tinggi tanaman, karena P value umur 0,028. Sedangkan salinitas
ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan karena P value salinitas
(0,317). Model regresi berganda yang diperoleh adalah pertambahan tinggi tanaman
= 0,282 Umur + 0,945 Salinitas + 56,445.
Umur
mempunyai hubungan yang kuat dengan bertambahnya tinggi rumput vetiver, yakni
dengan R=0,849. Sedangkan untuk salinitas ternyata tidak memiliki hubungan yang
erat (hubungan antara pertambahan tinggi rumput vetiver dengan tingkat
salinitas mesohaline, yakni R=0,599) atau dengan kata lain bahwa salinitas
tidak memberikan pengaruh signifikan. Ini berarti bahwa rumput vetiver masih
mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas mesohaline.
Gambar 2a
menunjukkan hubungan antara umur dengan pertambahan tinggi tanaman, terlihat
bahwa tinggi tanaman bertambah karena bertambahnya umur tanaman. Ini berarti
bahwa pertambahan tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh umur rumput vetiver
dengan model polinomial orthogonal orde tiga: Y = 0,36X3 – 5,68X2+ 30,69X + 24,23 dan R2
= 0,97. hasil analisis piktorial ini terungkap bahwa umur merupakan salah satu
faktor kunci dalam menetukan pertumbuhan rumput vetiver dalam sistem lahan
basah buatan untuk menyisihkan konstituen limbah organik asal udang vaname.
Hubungan polynomial pada orde tiga mencerminkan bahwa sebetulnya masih ada
faktor-faktor kimia fisika biologi lain yang berperan dan perlu untuk diamati.
(a) (b)
Gambar 2 Pola
pertambahan tinggi rumput vetiver (a) Hubungan Tinggi rumput vetiver dan
salinitas terhadap umur (b)
Gambar 2b merupakan hasil pengamatan penmbahan tinggi rumput
vetiver mulai umur 14 hingga 95 hari. Pertambahan tinggi tanaman selama 95 hari
mencapai 69 cm atau pertumbuhan rata-rata rumput vetiver adalah 0,73 cm/hari.
Pengambilan Pencemar oleh Rumput Vetiver (C. zizanioides, L). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa P value >
0.05, yakni 0,915 (NO3-), 0,879 (NH4+),
dan 0,861 (PO43-) maka dari dua perlakuan penanaman
rumput vetiver antara emergent dan hidroponik baik untuk NH4+,
NO3- dan PO43-, ternyata tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata atau dengan kata lain bahwa baik rumput
vetiver yang ditanam secara emergent maupun hidroponik mempunyai kemampuan yang
sama dalam pengambilan pencemar tersebut.
Tanaman memainkan
peran yang sangat penting dalam FWS-CWs.
Mereka menaungi kolom
air, memberikan ruang untuk pertumbuhan biofilm, dan bantuan daur hara dan
karbon organik (Kadlec dan Wallace 2009, Lin et al. 2002).
Pengambilan
(uptake) pencemar oleh vegetasi
merupakan proses utama dari proses biotik dalam sistem ini (Lin et al. 2002). Tanaman
memainkan berbagai peran di LBB untuk pengolahan
air limbah. Peran tersebut mencakup peran fisik dari tanaman sendiri berupa sedimentasi, pengendalian erosi dan menyediakan luas permukaan untuk pertumbuhan mikroba (biofilm), sehingga meningkatkan proses penyisihan oleh mikroba
termasuk nitrifikasi dan denitrifikasi. Rumput vetiver memiliki akar yang panjang bisa
mencapai 3,6 m dan dengan sistem akar sangat halus berdiameter rata-rata 0.5 -
1.0 mm (Truong et al. 2008, Cheng et
al, 2003). Tanaman yang memiliki akar yang bercabang-cabang halus,
permukaan akarnya digunakan oleh mikroorganisme sebagai tempat pertumbuhan
(Tosepu 2012). Tumbuhan juga memiliki
peran metabolisme dalam pengolahan air limbah dengan potensi untuk melepaskan O2 ke dalam rizosfir
untuk membantu nitrifikasi dan dengan penyerapan langsung
nutrisi (Greenway dan Woolley
2001; Brix 1997).
FWS-CWs
dan fitoremediasi rumput vetiver memiliki kemampuan penghilangan yang
baik untuk nitrogen (NH4+ dan NO3-)
dan
rendah untuk fosfor oleh sistem (41
%, 93 % dan 9 %, Tabel
1), dimana kemampuan
fitoremediasi rumput vetiver dalam penghilangan NH4+ dan NO3- adalah 62 % dan 36 % serta penghilangan fosfor
sebesar 49 %.
Tabel 1
Elimination rates by FWS-CWs and Vetiver grass
NH4+
|
NO3-
|
PO43-
|
|
Influent (g/day)
|
4.60
|
6.16
|
2.73
|
Effluent (g/day)
|
2.39
|
1.91
|
2.30
|
Elimination by sistem (g/day)
|
2.21
|
4.25
|
0.44
|
Elimination by plant uptake (g/day)
|
1.36
|
1.53
|
0.21
|
Efficiency CWs (%)
|
48
|
69
|
16
|
Efficiency by plant uptake (%)
|
62
|
36
|
49
|
Dinamika
pencemar (NH4+, NO3-,
PO43-) memberikan performa kemampuan penghilangan
pencemar
oleh sistem dan serapan tanaman (Gambar 3). Performa penghilangan pencemar NH4+, NO3-, PO43-
oleh serapan rata-rata rumput vetiver (C.
zizanioides, L) baik di akar maupun di daun, berturut-turut adalah 62 %, 36
% dan 49 %. Ini menunjukkan bahwa rumput vetiver berkontribusi terhadap
penghilangan pencemar dalam sistem FWS-CWS. Sehingga untuk meningkatkan serapan
pencemar tersebut bisa dilakukan dengan menambah populasi dari tanaman rumput
vetiver. Kennedy dan Murphy (2004), peningkatan kerapatan tanaman mempengaruhi
penurunan konsentrasi nitrogen.
Serapan
NH4+ oleh rumput vetiver lebih tinggi dibandingkan dengan
NO3-, karena rumput vetiver lebih memilih sumber nitrogen
dari NH4+ dibanding NO3-. Menurut
Garnett (2001), berbagai jenis tumbuhan berbeda dalam bentuk
sumber N
yang disukai untuk diserap, tergantung pada sumber yang tersedia di
lahan
basah. Sedangkan Fang et al. (2007), tanaman mengambil nitrogen oleh
akar dan
daun. Jika
kedua
sumber N yang tersedia, maka tanaman lebih memilih untuk mengambil NH4+.
Rumput
vetiver menjadi pilihan dalam melakukan penghilangan pencemar nitrogen dan
phospat dalam air limbah budidaya udang vaname. Hasil penelitian, rumput
vetiver memiliki toleransi yang baik pada kondisi bersalinitas mesohaline dan
kaya nutrien. Danh et al. (2013), rumput vetiver memiliki kemampuan mengambil dan meningkatkan biodegradasi limbah
organik, sehingga berpotensi sebagai tanaman fitoremediasi. Potensi rumput vetiver tersebut karena produksi biomassa yang tinggi, tingkat pertumbuhan yang cepat, tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan potensi akumulasi.
Gambar
3. Perbandingan inflow dan outflow (a) Tingkat eliminasi CWs dan rumput vetiver
(b)
Kesimpulan. Rumput vetiver
mampu tumbuh dan melakukan fitoremediasi pada kondisi mesohaline (bersalinitas <
15 o/oo). Fitoremediasi menggunakan tanaman rumput
vetiver bisa diterapkan untuk melakukan pengolahan limbah budidaya udang vaname
(aquaculture wastewater), terutama
untuk menurunkan konsentrasi nitrogen dalam tambak bersalinitas mesohaline. Rumput vetiver (C.
zizanioides, L) lebih memilih sumber nitrogen dari NH4+
dibandingkan dengan NO3-. Teknologi
ini mempunyai kelebihan, yakni merupakan teknologi hijau dan ramah lingkungan
dalam pengolahan air limbah serta merupakan metode daur ulang yang alami. Produk
akhirnya dapat dimanfaatkan, misalnya sebagai pakan ternak dan bahan untuk
pertanian organik.
Daftar Pustaka
[APHA] American Public Health Association; American Water Works
Association; Water Environment Federation, 1995. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 18th ed.; American Public Health Association: Washington,
D.C.Ash, R., Truong, P., 2003. The use of Vetiver grass wetland for sewerage treatment in Australia.
Proc. Third International Vetiver Conf. China, October 2003.
Avnimelech Y., Malka K., 2009. Evaluation of nitrogen
uptake and excretion by tilapia in bio floc tanks, using 15N
tracing. Aquaculture 287: 163–168.
Avnimelech Y., 2006. Bio-filters: The need for
an new comprehensive approach. Aquacultural
Engineering 34: 172–178.
Boyd C. E., 2003. Guidelines for aquaculture
effluent management at the farm-level. Aquaculture
226: 101–112.
[SI] Statistics Indonesia, 2014 Indonesian Fishery Statistics 2014. Statistics Indonesia, Jakarta-Indonesia.
Brix, H. 1997. Do macrophytes play a role in constructed treatment
wetlands? Water Science and Technology 35(5): 11-17.
Cheng Hong, Xiaojie Yang, Aiping Liu, Hengsheng Fu, Ming Wan,
2003. A Study on the Performance and
Mechanism of Soil-reinforcement by Herb Root System. Proc. Third
International Vetiver Conf. China, October 2003.
Crab R., Avnimelech Y., Defoirdt T., Bossier P.,
Verstraete W., 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a
sustainable production. Aquaculture
270: 1–14.
Dana, A. M., 2014. Phytoremediation as an
Alternative Method to Remove Lead and Cadmium from Wastewater Using Some
Aquatic Plants. European International Journal of Science
and Technology 3 (4): 1-6.
Danh, L. T., Truong, P., Mammucari,
R., Tran T., Foster, N., 2013. Vetiver Grass, Vetiveria Zizanioides: A Choice
Plant For Phytoremediation Of Heavy Metals And Organic Wastes. International Journal of Phytoremediation, 11:664–691.
Dumas A., Laliberte G., Lessard P., de la Noue J.,
1998. Biotreatment of fish farm effluents using the cyanobacterium Phormidium bohneri. Aquacultural Engineering 17: 57-68.
Schryver, P D, Crab, R, Defoirdt, T, Boon N,
Verstraete, W. 2008. The basics of bio-flocs technology: The added value for
aquaculture. Aquaculture 277:
125–137.
Eapen, S., D’Souza S. F., 2005. Prospects of genetic engineering
of plants for phytoremediation of toxic metals. Biotechnology Advances 23: 97– 114.
Food And Agriculture Organization Of The
United Nations (FAO), 2011. World aquaculture 2010. FAO Fisheries
And Aquaculture Technical Paper 500/1, Rome, Itally.
Fang Y., Babourina O., Rengel Z., Yang X. dan Pu P.M., 2007. Ammonium and Nitrate Uptake by The Floating Plant Landoltia Punctata. Annals of Botany, 99(2): 365–370.
Kadlec R.H. dan
Wallace S.D., 2009. Treatment
Wetlands Second Edition. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Kennedy, M.P. dan Murphy, K.J. 2004.
Indicators Of Nitrate In Wetland Surface And Soil-Water: Interactions Of
Vegetation And Environmental Factors. Hydrology
and earth system Sciences, 8(4), 663-672.
Lananan, F., Abdul
Hamid, S.H., Din, W. N. S., Ali, N. A., Khatoon, H., Jusoh, A., Endut, A., 2014.
Symbiotic bioremediation of aquaculture wastewater in reducing ammonia and
phosphorus utilizing Effective Microorganism (EM-1) and microalgae (Chlorella
sp.). International Biodeterioration & Biodegradation, 95, Part A(0), 127-134.
Lin C K, Yi Yang, 2003. Minimizing
environmental impacts of freshwater aquaculture and reuse of pond effluents and
mud. Aquaculture 226: 57–68.
Lin Y-F., Jing Sh-R., Lee
D-Y. dan Wang, T-W., 2002. Nutrient removal from aquaculture wastewater
using a constructed wetlands system. Aquaculture,
209,169–184.
[MKP] Majalah Kelautan dan Perikanan, 2012. Majalah Mina Bahari (Pengawal
Industrialisasi Kelautan dan Perikanan) Edisi Mei 2012. Pusat Data, Statistik
dan Informasi (PUSDATIN), Sekjend Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
[MMF] Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, 2010 Strategic Plan Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia 2010-2014. Jakarta.
Mook, W. T., Chakrabarti, M. H., Aroua,
M. K., Khan, G. M. A., Ali, B. S., Islam, M.S., Abu Hassan, M. A., 2012.
Removal of total ammonia nitrogen (TAN), nitrate and total organic carbon (TOC)
from aquaculture wastewater using electrochemical technology: A review. Desalination,
285: 1-13.
Naylor, R L, Goldburg, R J, Primavera, J H,
Kautsky, N, Beveridge, M C M, Clay, J, Folke, C, Lubchenco, J, Mooney, H,
Troell, M., 2000. Effect of aquaculture on world fish supplies. Nature 405, 1017– 1024.
Ojoawo, S.O., Udayakumar, G. and Naik, P., 2015. Phytoremediation of Phosphorus and nitrogen with
Canna x generalis Reeds in Domestic Wastewater through NMAMIT Constructed
Wetland. Aquatic Procedia
4: 349 – 356.
Pan,
J., Sun H., Nduwimana A., Wang Y., Zhou G., Ying Y. dan
Zhang R.,
2007. Hydroponic plate/fabric/grass system for treatment of aquacultural
wastewater. Aquacultural Engineering, 37(3), pp.266–273.
Piedrahita R. H., 2003. Reducing
the potential environmental impact of tank aquaculture effluents through
intensification and recirculation. Aquaculture
226: 35–44.
Ray A.J., Lewis B.L., Browdy C.L. dan Leffler J.W., 2010.
Suspended Solids Removal to Improve Shrimp (Litopenaeus
vannamei) Production and an Evaluation of a Plant-Based Feed in
Minimal-Exchange, Superintensive Culture Systems. Aquaculture, 299: 89–98.
Riani, E., (2015). The Effect of
Heavy Metals on Tissue Damage in Different Organs of Goldfish Cultivated in
Floating Fish Net in Cirata Reservoir, Indonesia. Paripex-Indian Journal Of Research 4 (2): 54-58.
Riani,
E., Sudarso, Y., Cordova, M. R., (2014). Heavy metals effect on unviable larvae of Dicrotendipes simpsoni (Diptera:
Chironomidae), a case study from Saguling Dam, Indonesia. AACL Bioflux 7 (2): 76-84.
Ridha, M. T. dan Cruz, E. M., 2001. Effect of biofilter media on water
quality and biological performance of the Nile tilapia Oreochromis niloticus L. reared in a simple recirculating
system. Aquacultural Engineering 24:
157–166.
Schroder, P. S., Harvey, P. J., Schwitzguebel, J-P., 2002. Prospects for
the Phytoremediation of Organic Pollutants in Europe. ESPR-Environ Sci &
Pollut Res 9 (1): 1-3.
Schryver P.D., Crab R., Defoirdt T., Boon N. dan Verstraete
W., 2008. The basics of bio-flocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture, 277: 125–137.
Tilley, D R., Harish B, Ronald R, Jiho S., 2002. Constructed wetlands as recirculation filters
in large-scale shrimp aquaculture. Aquacultural
Engineering 26: 81–109.
Tosepu
R., 2012. Laju Penurunan Logam Berat
Plumbum (Pb) Dan Cadmium (Cd) Oleh Eichornia
Crassipes dan Cyperus Papyrus. J. Manusia Dan Lingkungan, Vol. 19,
No.1: 37–45.
True, B., Johnson, W., Chen, S., 2004. Reducing phosphorus discharge from
flow-through aquaculture III: assessing high-rate filtration media for effluent
solids and phosphorus removal. Aquacultural
Engineering 32: 161–170.
Truong, P, Van, T T, Pinners, E., 2008. The Vetiver
System for Prevention And Treatment Of Contaminated Water And Land. TVN-series2-2pollution.htm.
Truong, P, Hart B., 2001. Vetiver System for Wastewater Treatment. Technical Bulletin no.
2001/21. Pacific Rim Vetiver Network. Office of the Royal Development Projects
Board, Bangkok, Thailand.
Truong, P., Loch R., 2004. Vetiver System For
Erosion And Sediment Control. ISCO 2004 - 13th International Soil Conservation Organisation
Conference – Brisbane, Australia.
Twarowska, J. G., Westerman, P. W., Losordo, T. M., 1997. Water treatment and waste
characterization evaluation of an intensive recirculating fish production
system. Aquacultural
Engineering 16: IX-147.
Vimala, Y., dan Kataria,
S. K., 2004. Physico-Chemical Study of
Vetiver in Wetland Soil Reclamation. Dept of Botany, CCS University, Meerut, UP,
India.
Wang, L. K., Tay, J-H, Tay, T-L, Hung, Y-T., 2010. Environmental Bioengineering. Volume 11 Handbook Of Environmental Engineering. Humana Press, Springer New York.
Willey, Neil, 2007. Phytoremediation, Methods and Review. Humana Press
Inc. New Jersey.
Xin, L., Hong-ying, H., Ke, G., Ying-xue, S., 2010. Effects
of different nitrogen and phosphorus concentrations on the growth, nutrient
uptake, and lipid accumulation of a freshwater microalga Scenedesmus sp. Bioresource
Technology, 101(14),
5494-5500.
Zhang, Xiao-Bin, Liu, Peng, Yang, Yue-Suo, Chen, Wen-Ren,
2007. Phytoremediation
of urban wastewater by model wetlands with ornamental hydrophytes. Journal of
Environmental Sciences 19: 902–909.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal internasional terindeks scopus, AACL Bioflux journal : http://www.bioflux.com.ro/home/volume-8-5-2015/
Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal internasional terindeks scopus, AACL Bioflux journal : http://www.bioflux.com.ro/home/volume-8-5-2015/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar