Jumat, 08 Juli 2011

PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL MAGICC-SCENGEN (Studi Kasus Temperatur dan Curah Hujan di Propinsi Papua Barat)


PENDAHULUAN
Peningkatan pemanasan global yang terjadi saat ini diakibatkan karena meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Peningkatan GRK ini semakin besar setelah masa revolusi industri. Semakin tinggi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar aktivitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga dan aktivitas-aktivitas lain yang melepaskan GRK. Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan terus meningkat. GRK meliputi gas-gas Karbon Dioksida (CO2), golongan Chloro-Fluorocarbon (CFCs), Methan (CH4), Ozon (O3), dan Nitrogen Oksida (NOx). Gas-gas tersebut berada di atmosfer berfungsi sebagaimana kaca, yaitu melewatkan radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi dari bumi agar tidak lepas ke angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi jika jumlah radiasi bumi yang terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan permukaan bumi akan semakin panas (suhu meningkat).
Kenaikan suhu udara permukaan global rata-rata sekitar 0,6 °C ± 0.2 °C selama akhir abad kedua puluh telah mempengaruhi siklus hidrologi global (TAR IPCC, 2000; Glen, 2004 dalam Nurmohamed, 2007). Menurut model iklim, suhu permukaan global akan meningkat sekitar 1,5-3.5 oC pada akhir 2100. Peningkatan suhu sederhana akan meningkatkan penguapan dan memungkinkan suasana untuk mengangkut jumlah yang lebih besar uap air. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa hujan dan limpasan akan dipercepat. Perubahan jangka panjang dari curah hujan sudah tentu akan mempengaruhi sumber daya air dan sehingga sektor sosial-ekonomi akan sangat terpengaruh.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Ini ditunjukkan pada kejadian kurun waktu 1997-1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan kerusakan terumbu karang yang cukup parah akibat berubahnya karakteristik El Nino akibat pemanasan global.
Memahami perubahan iklim global di masa yang akan datang serta dampak yang dapat ditimbulkannya, khususnya perubahan pada iklim Indonesia sebagai salah satu parameter perubahan kondisi lingkungan, merupakan bagian dari strategi antisipasi (adaptasi dan mitigasi) dampak perubahan iklim global secara dini yang penting dilakukan dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Tulisan ini menjelaskan tentang perubahan iklim global yang akan di bahas dalam bagian kedua tulisan ini. Selanjutnya akan dikaji perubahan dan proyeksi perubahan iklim Indonesia dengan menggunakan model MAGICC-SCENGEN versi 5.3.
TUJUAN PENULISAN
            Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perubahan iklim (temperatur udara dan curah hujan) Indonesia, dengan mengambil kasus di Propinsi Papua Barat (Latitude: 2,5oS-0oS dan Longitude: 132,5oE-135,0oE).
MODEL IKLIM GLOBAL
Pada tahun 1992, IPCC merilis enam skenario emisi yang menyediakan alternatif emisi untuk rentang tahun 1990 sampai 2100 yang berhubungan dengan GRK, yakni CO2, CO, CH4, N2O, NOx, dan SO2. Skenario ini dimaksudkan untuk digunakan oleh para ilmuwan iklim dan atmosfer dalam penyusunan skenario komposisi atmosfer dan perubahan iklim.
IPCC telah menerbitkan satu set baru skenario pada tahun 2000 untuk digunakan dalam Third Assessment Report/TAR (Laporan Khusus tentang Skenario Emisi-SRES). Skenario SRES dibangun untuk mengeksplorasi perkembangan masa depan di lingkungan global dengan referensi khusus pada produksi emisi gas rumah kaca dan aerosol prekursor. Tim SRES mendefinisikan empat skenario (Gambar 1), yang diberi label B2, A1, A2, B1(Nakicenovic et al, 2000). Skenario SRES berdasarkan storyline IPCC 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.
 Gambar 1. Ilustrasi Empat Skenario SRES
Tabel 1. Skenario SRES berdasarkan storyline IPCC 2000
AR4
Lebih difokuskan pada sektor ekonomi
Lebih difokuskan pada sektor lingkungan
Globalisasi (dunia yang homogen
A1
B1
-  Pertumbuhan ekonomi yang cepat (grup : A1/A1B/A1F1), 
-  kenaikan temperatur tahun 2100 antara      1.4 – 6.4oC
-  Penanganan lingkungan global yang berkelanjutan,
-  kenaikan temperatur tahun 2100 antara     1.1 – 2.9 oC
Regionalisasi (dunia yang heterogen)
A2
B2
-    pembangunan ekonomi yang berorientasi regional,
-    kenaikan temperatur tahun 2100 antara      2.0 – 5.4oC
-    penanganan lingkungan lokal yang berelanjutan,
-    kenaikan temperatur tahun 2100 antara      1.4 – 3.8 oC

Laporan penilaian IPCC keempat (AR4), total 25 model sirkulasi atmosfer umum AOGCM digunakan untuk proyek pemanasan global dan kenaikan permukaan laut rata-rata daerah pada akhir 2100. Diharapkan tetap pada kisaran 1,1°C hingga 6,4°C peningkatan suhu global dan proyeksi peningkatan ketinggian permukaan laut global diperkirakan pada kisaran 0,02 m-0,18 m untuk skenario emisi yang berbeda. Ini juga telah diproyeksikan untuk Asia Selatan kering curah hujan musiman selama musim dingin diturunkan dari 16%, diikuti dengan peningkatan curah hujan pra-monsun dan Monsun 31% dan 26% untuk skenario A1FI (IPCC, 2007).
Salah satu sarana untuk mengadopsi proyeksi iklim di masa depan adalah melalui model AOGCM (Atmosphre- Ocean Global Circulation Models). Model numerik ini memiliki beberapa kemampuan diantaranya mampu menampilkan sebuah sistem iklim dalam bentuk 3 Dimensi, mampu menjelaskan berbagai proses fisis dan dinamis, serta berbagai macam proses interaksi dan timbal-baliknya. Model-model AOGCM juga memiliki kemampuan di dalam memperkirakan kondisi iklim regional dalam merespon terhadap perubahan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan aerosol (Kurniawan dkk, 2009).
Tulisan ini akan melakukan simulasi dengan menggunakan model MAGICC-SCENGEN (Model sirkulasi global UKHADCM3 dan UKHADGEM) dengan skenario A1-BAIM dan B2-MES. A1-BAIM mewakili skenario emisi GRK tinggi (pertumbuhan ekonomi tinggi) dan B2-MES mewakili skenario emisi GRK rendah (pertumbuhan populasi dan ekonomi sedang).
PERUBAHAN IKLIM
            Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya aktifitas manusia yang dimulai sejak revolusi industri. Dimana CO2 dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas, selain itu CO2 juga dihasilkan dari kegiatan penebangan hutan (deforestasi). Menurut Susandi (2010), data historis konsentrasi CO2 meningkat dari tahun ketahun dan peningkatan secara drastis dimulai sejak di mulainya revolusi industri pada sekitar tahun 1900. Peningkatan konsentrasi CO2 diatmosfer ini akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat meyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan, sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan.
Perubahan iklim global ini akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya aktifitas manusia yang akhirnya mengemisikan karbon, sehingga akan terjadi kanaikan temperatur global. Berdasarkan simulasi model Magicc didapatkan bahwa temperatur global akan meningkat dari 2,5oC (B2-MES) hingga mencapai 3oC (A1-BAIM) pada tahun 2100 (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil Simulasi Model Magicc SRES A1B-AIM dan B2-MES
Perubahan temperatur global sangat mungkin memberikan pengaruh pada pola presipitasi dan evapotranspirasi pada pulau-pulau di wilayah tropis, yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya air (Watts, 1997).
PROYEKSI TEMPERATUR DAN CURAH HUJAN
Proyeksi temperatur dan curah hujan pada titik geografis: Latitude 2,5oS-0oS dan longitude 132,5oE-135,0oE dan menggunakan model MAGICC/SCENGEN berdasarkan skenario IPCC (skenario A1 dan B2) menunjukkan kenaikan dari waktu ke waktu. Dimana secara spasial pada Gambar 3 dan 4 diperlihatkan proyeksi temperatur Indonesia (Papua Barat) pada tahun 2100. Terlihat bahwa perubahan temperatur maksium terjadi sebesar 2,12oC (skenario A1BAIM) yang tersebar di wilayah sumatera dan kalimantan. Sedangkan untuk skenario B2MES terjadi perubahan temperatur maksimum sebesar 1,88oC. Kedua skenario ini ternyata masih dibawah proyeksi global yang mencapai 2,96oC untuk A1BAIM dan 2,6oC untuk B2MES.
Kurniawan dkk (2009), proyeksi dari perubahan iklim masa depan terhadap temperatur udara permukaan dan curah hujan khususnya di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang–Sumatera Barat dengan menggunakan model AOGCM CCSR/NIES menunjukkan bahwa hingga tahun 2080, intensitas curah hujan akan mengalami peningkatan hingga 20% dibandingkan nilai rata-ratanya. Namun yang menarik disini, pada periode SON dua skenario yakni SRES A2 dan B2 sepakat bahwa adanya penurunan intensitas curah hujan hingga mencapai 15%. Penurunan ini belum diketahui penyebabnya, namun kondisi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam melihat proyeksi perubahan iklim di masa depan. Sedangkan hasil simulasi peningkatan curah hujan mencapai 25,4 hingga 26,2% pada periode MAM.
 Gambar 3.  Hasil Simulasi Temperatur Rerata Indonesia (Papua Barat) 2000-2100 (skenario A1BAIM)
Gambar 3.  Hasil Simulasi Temperatur Rerata Indonesia (Papua Barat) 2000-2100 (skenario B2MES)
Selanjutnya jika kita lihat dari perubahan temperatur setiap 10 tahun dalam periode 2000 hingga 2100, maka skenario A1BAIM memiliki persamaan regresi Y = 0,217X – 0,1656, yang artinya kenaikan temperatur akan terjadi sebesar 0,217 kalinya terhadap waktu yang dikurangi dengan 0,1656. Sedangkan skenario B2MES memberikan persamaan regresi Y = 0,1767X – 0,0731. Ini berarti skenario B2MES memberikan kenaikan temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan skenario A1BAIM.
 Gambar 5. Grafik Kenaikan Temperatur Rerata Setiap 10 tahun (Papua Barat)
Proyeksi curah hujan per tiga bulan (Desember-Januari-Februari/DJF, Maret-April-Mei/MAM, Juni-Juli-Agustus/JJA, September-Oktober-November/SON) diperoleh bahwa terjadi peningkatan curah hujan (%) dari waktu ke waktu.
Skenario A1BAIM diperoleh bahwa pola curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada MAM (untuk tahun 2000, 2050 dan 2100), sedangkan pada tahun 2010 curah hujan tertinggi terjadi pada DJF (Gambar 6). Sedangkan skenario B2MES diperoleh bahwa pola curah hujan sangat bervariasi, dimana untuk tahun 2010 dan 2050 curah hujan tertinggi terjadi pada DJF, namun untuk tahun 2000 dan 2100 terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada MAM (Gambar 7).
  Gambar 6. Pola Curah Hujan (%) 2000-2100 Skenario A1BAIM
 Gambar 7. Pola Curah Hujan (%) 2000-2100 Skenario B2MES
            Apabila dilihat dari curah hujan bulanan terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari, Maret dan April, baik untuk skenario A1BAIM dan B2MES. Namun pada tahun 2100 terjadi pola penurunan curah hujan (anomali) yang terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8 dan 9). Sedangkan Pola curah hujan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11).
 Gambar 8. Curah Hujan Bulanan dalam mm/hari Skenario A1BAIM
Gambar 9. Curah Hujan Bulanan dalam mm/hari Skenario B2MES
 Gambar 10. Curah Hujan Spasial Indonesia (termasuk Papua Barat) periode 2000-2100 untuk Skenario A1BAIM
Gambar 11. Curah Hujan Spasial Indonesia (termasuk Papua Barat) periode 2000-2100 untuk Skenario B2MES.
 PENUTUP
            Paper ini telah memberikan gambaran tentang terjadinya perubahan iklim global yang akan terjadi dimasa mendatang (khususnya prediksi pada tahun 2100) serta proyeksi perubahan iklim Indonesia dengan studi kasus Provinsi Papua Barat untuk temperatur dan curah hujan tahunan.
Proyeksi perubaban iklim untuk parameter temperatur dan curah hujan telah di simulasikan dengan model MAGICC/SCENGEN untuk proyeksi tahun 2000 sampai 2100. Skenario IPCC yang dipilih adalah skenario B2 yang mewakili kondisi peningkatan populasi dan pertumbuhan ekonomi yang sedang atau sebagai skenario dasar. Sedangkan skenario A1 dipilih sebagai skenario yang mewakili kondisi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang mencerminkan tingginya pengggunaan bahan bakar fosil.

DAFTAR PUSTAKA
IPCC. 2000. Emissions Scenarios. A Special Report of Working Group III of The IPCC. Cambridge University Press. Cambridge, U.K.
Kurniawan, E., Herizal, dan Budi Setiawan. 2009. Proyeksi Perubahan Iklim Berdasarkan Skenario Ipcc Sres Dengan Menggunakan Model AOGCM CCSR/NIES (Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang-Sumatera Barat). Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Vol. 5 No. 2 Juni 2009.
Nakicenovic, N. et al (2000). Special Report on Emissions Scenarios: A Special Report of Working Group III of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press, Cambridge, U.K., 599 pp. Available online at:http://www.grida.no/climate/ipcc/emission/index.htm
Nurmohamed, S. R., Naipal, F dan De Smedt. 2007. Modeling hydrological response of the Upper Suriname river basin to climate change. Journal of Spatial Hydrology, Vol.7, No.1, Spring, Belgium.
Susandi, A. 2010. Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia. armi@geoph.itb.ac.id.
Susandi, A. 2006.  Projection of Climate Change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN Model. armi@geoph.itb.ac.id.
Wigley, T.M.L., Raper, S.C.B., Hulme, M. dan Smith, S. 2008. The MAGICC/SCENGEN Climate Scenario Generator: Version 5.3, Technical Manual. Climatic Research Unit. Norwich, U.K.
Watts, D. 1997. Human Dimensions of Global Change Impacts on Water Resources in Tropical Islands. The Globe Issue 40, Desember 1997, 13-14.

1 komentar: