Rabu, 06 Juli 2011

STRATEGI IMPLEMENTASI TATA RUANG IBUKOTA JAKARTA DALAM UPAYA MENGEMBALIKAN FUNGSI SUNGAI


1.    Pendahuluan
          Kota Jakarta adalah sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) serta merupakan kawasan strategis nasional. Namun dewasa ini masih mengalami banyak permasalahan tata ruang akibat pemanfaatan ruang yang kurang terencana dan terkendali. Permasalahan tersebut antara lain karena ledakan jumlah penduduk (terutama akibat migrasi), meningkatnya frekuensi bencana banjir, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, penurunan kualitas lingkungan, pencemaran air (sungai dan sumur), pencemaran udara, berkurangnya RTH dan kawasan resapan air, kemacetan lalu lintas, tergusurnya kota lama yang bersejarah, dan terjadinya fenomena pemanasan global dan perubahan iklim.
            BPLHD DKI (2011), sebanyak 13 sungai di kota metropolitan ini dalam kondisi tercemar berat. Status mutu air sungai-sungai tersebut, tidak ada satu pun yang dalam keadaan baik. Diduga karena 836 perusahaan atau pabrik yang membuang limbah cair (effluent) di atas ambang batas yang diperbolehkan, sehingga terjadilah pencemaran tersebut. Keadaan ini sebetulnya diperparah oleh peningkatan limbah domestik terutama yang berasal dari rumah tangga (umumnya sebagai tinja, deterjen dan sampah), dimana limbah-limbah tersebut langsung dibuang ke badan perairan tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu berbeda dengan limbah yang berasal dari pabrik yang umumnya sudah melalui pengolahan terlebih dahulu (Instalasi Pengolahan Limbah Domestik/IPALD yang seyogyanya disediakan oleh pemerintah DKI/pemerintah kota belum tersedia secara memadai). Berdasarkan data BPLHD DKI (2011), baku mutu parameter bakteri ecoli tinja, misalnya, 13 sungai di DKI Jakarta dalam kondisi tercemar bakteri patogen, yang umumnya terdapat dalam tinja manusia. Misalnya Kali Ciliwung mengandung sekitar 24,6 juta bakteri koli dalam 100 ml air sungai, sedangkan baku mutu yang ditentukan adalah 4.000 bakteri dalam 100 ml air.
            Pencemaran yang terjadi pada sungai-sungai tersebut menyebabkan perairan menjadi keruh, menghitam dan berbau. Ini mengakibatkan sungai kehilangan fungsi aslinya sebagai tempat budaya, bersosialisasi dan juga jalur transportasi seperti yang pernah terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Bahkan akibat pencemaran ini sungai-sungai banyak mengalami kehilangan keanekaragaman hayati.
            Hasil penelitian yang dilakukan LIPI (2009), terungkap laju kehilangan jenis asli krustasea 67 persen, moluska 66 persen, dan ikan sebesar 92 persen di DAS Ciliwung. Sedangkan di DAS Cisadane, laju kehilangan krustasea sebesar 39,1 persen, moluska 35,7 persen, dan ikan 75,6 persen. Kehilangan keanekaragaman biota perairan di DAS Ciliwung dan DAS Cisadane tersebut sangatlah memprihatinkan, karena jenis-jenis biota air tersebut sebetulnya banyak yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai sumber pangan berprotein. Selain itu, buruknya kualitas air menyebabkan kepunahan biota air yang akan berdampak pada kesehatan manusia itu sendiri.
            Mengingat hal itu maka sudah sepantasnya pemerintah DKI dan pemerintah kota melakukan perubahan paradigma dalam perencanaan tata ruang yang lebih memperhatikan lingkungan hidup, yakni “Strategi Implementasi Tata Ruang Ibukota Jakarta dalam Upaya Mengembalikan Fungsi Sungai-Sungai Di Jakarta dengan Melakukan Pengendalian Pencemaran Air Sungai Secara Holistik”.
2.    Kerangka Teoritis
            Pengaturan ruang merupakan upaya untuk memberikan acuan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan penataan ruang. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
            Penataan ruang kawasan Ibukota Jakarta dimaksudkan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan agar tujuan pembangunan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan hidup dapat tercapai. Penataan ruang memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat (Djakapermana, 2010). Peran lainnya adalah pengendalian pencemaran air sungai.
            Berbagai upaya pengendalian pencemaran air yang telah dilakukan pemprov DKI Jakarta adalah melalui berbagai kebijakan diantaranya melalui pendekatan kelembagaan, hukum, teknis dan program khusus. Sedangkan pendekatan kelembagaan dilakukan dengan membentuk Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Ibukota Jakarta. Dalam pendekatan hukum Pemprov DKI Jakarta telah menerbitkan Pergub No 220 Tahun 2010 tentang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan Peraturan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pendekatan teknis lebih ditekankan pada pelaku industri, yakni dengan mewajibkan setiap industri melakukan pengolahan air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke sungai penerima, namun tidak demikian dengan air limbah yang bersifat komunal (limbah domestik), umumnya belum melalui pengolahan yang baik (belum memadainya IPALD). Program khusus yang pernah dikembangkan adalah PROKASIH (Program Kali Bersih). Namun akhir-akhir ini upaya tersebut sudah sangat mengendor.
            Pendekatan pengolahan air limbah adalah secara fisik, biologi dan kimiawi. Namun sekarang yang paling banyak diterapkan adalah pendekatan fisik dan biologi atau kombinasi keduanya (US EPA, 2002). Khusus untuk IPAL komunal (domestik) US EPA menganjurkan pendekatan terpusat. Hal ini karena nantinya akan lebih mudah dalam pengawasannya. Pendekatan tersebut adalah onsite wastewater treatment system (OWTS), yakni sistem pengolahan air limbah terpusat. Sistem ini menggunakan dua pendekatan, yakni fisik dan biologi (bioremediasi dan fitoremediasi) dalam satu instalasi pengolahan.
            Bioremediasi adalah upaya memperbaiki kondisi lingkungan dengan menggunakan mikroba pengurai (US EPA, 2000), sedangkan fitoremediasi adalah  upaya memperbaiki kondisi lingkungan dengan menggunakan tumbuhan akumulator (US EPA, 2000; Rahmansyah dkk, 2009). Teknologi Phytoremediation dapat digunakan untuk penahanan (phytoimmobilization dan phytostabilization) atau penghapusan/penghilangan (phytoextraction dan phytovolatilization) (Van De Bos, A., 2002).
            Puslitbang SDA, menganjurkan dalam pengendalian pencemaran air sebaiknya menggunakan teknologi pengolahan limbah ( IPAL) bisa dengan memanfaatkan mikroba pengurai maupun tumbuhan akumulator, yang diterapkan pada industri maupun domestik. 


3.    Pandangan Penulis
            Hampir semua pemerintah provinsi, kota, kabupaten dan juga pemerintah pusat sudah menyusun produk perencanaan tata ruang untuk kepentingan pengarahan pembangunan kota, wilayah atau kawasan, begitu pula dengan pemprov DKI Jakarta namun dalam kenyataannya masih sering kita dengar, bahwa perencanaannya kurang tepat atau tidak sesuai dengan keinginan semua pihak, dan masalah ketidak beresan produk perencanaan yang sudah disusun karena seringkali tidak memperhatikan kesimbangan semua aspek yang sesungguhnya saling berkaitan dan mempengaruhi, yakni geopolitik, ekonomi, sosial dan biofisik (ekologi). Seringkali juga, perencanaan tata ruang antar daerah yang berdampingan/berinteraksi/penyangga tidak ada sinergi satu sama lainnya (sulit melakukan sinkronisasi satu dengan yang lainnya).
            Walaupun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-punjur yang mengatur tentang struktur dan pola ruang yang ingin diwujudkan dalam 20 tahun ke depan, namun permasalahan ini tidak kunjung terselesaikan.
            Penataan ruang dengan memperhatikan keadaan lingkungan (dalam hal ini sungai-sungai di Jakarta) perlu memasukkan infrastruktur komunal (tidak hanya diberlakukan untuk kalangan industri), yakni IPALD yang bersifat terpusat/komunal dengan prinsip OWTS dan juga memanfaat kemampuan tumbuhan akumulator. Mengingat umumnya industri sudah memiliki IPAL, maka pada kesempatan ini lebih difokuskan pada IPALD. 
            Prinsip dasar kerja pengendalian pencemaran air sungai adalah pendekatan sumber (rumahtangga penghasil limbah). Dimana semua limbah yang dihasilkan (black waste/limbah tinja maupun gray waste/limbah dapur dan cucian) harus melalui pengolahan secara fisik (pengendapan dan penyaringan) dan biologi yang merupakan kombinasi penggunaan mikroba pengurai dan tumbuhan akumulator dalam menjerap dan mengakumulasikan pencemar. Rahmansyah dkk, (2009), berbagai tumbuhan akumulator, seperti jenis rumput-rumputan, tumbuhan berdaun lebar, tumbuhan air banyak digunakan sebagai tumbuhan yang mampu memperbaiki kondisi lingkungan yang tercemar.
            Mengadopsi konsep pengendalian pencemaran perairan di Harbour, California, dimana limbah cair yang tidak terolah di IPALD (OWTS) akan dikumpulkan dalam instalasi pengolahan air limbah yang biasanya diletakkan di dekat perairan penerima sebelum benar-benar dibuang ke badan air (sungai).  Pengendalian akhir terswebut menggunakan sistem Modular Wetlands Storm Water Filtration System/MWS (Geosphere Consultants, Inc, 2008). MWS ini merupakan sistem filtrasi dengan memanfaatkan teknik aliran lambat dan menggunakan kemampuan Bioengineering dan phytoremediation rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L).          
            Rumput vetiver ini mempunyai karakteristik/keunggulan luar biasa karena memiliki tingkat toleransi terhadap kondisi klimat dan tanah yang beragam, sehingga sekarang banyak digunakan sebagai teknik bioengineering dan phytoremediation untuk mitigasi lingkungan seperti stabilisasi daerah lereng, stabilisasi infrastruktur, rehabilitasi tanah pertambangan (air asam tambang dan batuan penutup), pembuangan air limbah, perangkap sedimen (sediment trap), phytoremediation yang mengkontaminasi tanah dan air, dan beberapa kegiatan lain dari pengendalian dampak lingkungan hidup (Truong et al., 2008).
            Berbeda dengan sistem pengolahan yang diterapkan di Harbour, California maka alternatif teknologi yang diterapkan untuk memulihkan kondisi sungai-sungai di Jakarta adalah dengan  penerapan teknologi IPALD secara berlapis dengan pendekatan OWTS dan MWS. Dimana OWTS dan MWS adalah merupakan instalasi pengolahan secara berkesinambungan yang diterapkan agar fungsi sungai-sungai di Jakarta dapat dikembalikan.
            Selanjutnya penerapan teknologi ini akan berhasil dengan baik apabila ditunjang oleh sistem drainase yang baik, yakni drainase yang memisahkan antara air limbah dengan air limpasan (run off), sehingga IPALD akan berfungsi secara optimal sedangkan air limpasan dapat digunakan untuk melakukan pembilasan (flushing) sungai-sungai di Jakarta (sinergi ini akan mempercepat pemulihan sungai-sungai tersebut). IPALD sistem komunal ini bisa dilakukan dengan pendekatan kampung/RT/RW/perumahan/perkantoran/pasar, kemudian aliran hasil olahan IPALD (OWTS) dialirkan dengan sistem drainase tertutup dengan aliran lambat bisa dilakukan secara gravitasi maupun pompanisasi tergantung dengan topografi wilayahnya, yang selanjutnya sebelum dibuang ke perairan umum penerima akan melalui proses akhir pada MWS.
4.        Penutup
       Kombinasi OWTS dan MWS dengan menggunakan kemampuan bioengineering dan phytoremediation rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) diduga akan mampu memulihkan kondisi air limbah yang cenderung keruh, berwarna hitam dan bau menjadi air yang lebih jernih, tidak berwarna dan tidak berbau dan sudah tentu  di bawah ambang batas yang diperkenankan oleh baku mutu.
            Penerapan kombinasi pengendalian pencemaran air secara holistik tersebut sudah tentu akan berkontribusi kepada penataan ruang yang dapat memberikan keseimbangan lingkungan dan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara normal. Sehingga ruang dapat dimanfaatkan secara arif dan efisien, dan memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
              Dengan teratasinya pencemaran air sungai, maka fungsi aslinya sebagai tempat budaya, bersosialisasi dan juga jalur transportasi seperti yang pernah terjadi ditahun yang silam dapat terulang kembali.
         Mengingat Jakarta merupakan daerah pelepasan air dari beberapa DAS yang berhulu di kota/kabupaten lain seperti Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi maka efisiensi pengendalian pencemaran air ini juga sangat tergantung pada sinergi dan sinkronisasi pengendalian pencemaran air sungai di daerah-daerah penyangga tersebut. Djakapermana (2010), Secara ekologis menyatakan bahwa Jakarta adalah kawasan yang meliputi tiga daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, dan DAS Bekasi. Pengendalian pencemaran air sungai tersebut sekarang sudah memiliki payung hukum yang mengikat, yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.


DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI  Jakarta (BPLHD). 2011. Laporan Pemantauan Kualitas Air di 13 Sungai di Jakarta. BPLHD, Jakarta.
Djakapermana, R.D. 2010. Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur : Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Direktorat Penataan Ruang, Jakarta.
Geosphere Consultants, Inc. 2008. Modular Wetlands Impact on Water Quality in Oceanside Harbor. Oceanside Harbour, California.
Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI). 2009. kajian hilangnya keanekaragaman hayati di sungai Ciliwung dan Cisadane Jakarta. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air (Puslitbang SDA). ______. Teknologi Pengendalian Pencemaran Air di Indonesia. Balai Lingkungan Keairan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Bandung.
Truong, P, T. T. Van, and E. Pinners,. 2008. The Vetiver System for Prevention And Treatment Of Contaminated Water And Land. TVN-series2-2pollution.htm.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
US-EPA. 2000. The Bioremediation and Phytoremediation of Pesticide contaminated Sites. Environmental Protection Agency, United State.
US-EPA.1998. A Citizen’s Guide to Phytoremediation. Environmental Protection Agency, United State.
Van De Bos, Amalie. 2002. Phytoremediation of Volatile Organic Compounds in Groundwater: Case Studies in Plume Control. U.S. Environmental Protection Agency Office of Solid Waste and Emergency Response Technology Innovation Office. Washington, DC. www.clu-in.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar